Jika
kita berbicara mengenai Moliere, tentunya tidak terlepas dari karya-karyanya
yang sarat akan sindiran. Salah satu karyanya yang berjudul Tartuffe bahkan sampai dilarang untuk
dipentaskan karena dianggap menyinggung
kaunm gereja di Prancis.
Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk membahas mengenai naskah drama Tartuffe dari segi penokohan dan kaitannya dengan drama satire. Tokoh yang dibahas hanya tokoh utama saja, yaitu Tartuffe. Hal ini dipilih karena tokoh tersebut sangat menonjol dibandingkan tokoh lainnya. Ditambah lagi, pengunaan nama Tartuffe dipakai sebagai judul drama lima babak tersebut.
Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk membahas mengenai naskah drama Tartuffe dari segi penokohan dan kaitannya dengan drama satire. Tokoh yang dibahas hanya tokoh utama saja, yaitu Tartuffe. Hal ini dipilih karena tokoh tersebut sangat menonjol dibandingkan tokoh lainnya. Ditambah lagi, pengunaan nama Tartuffe dipakai sebagai judul drama lima babak tersebut.
Moliere melalui drama Tartuffe seakan mencoba keluar dari
konvensi drama yang berlaku pada zaman itu. Hal ini diperlihatkannya dengan tokoh
utama, Tartuffe, yang justru baru muncul pada pada babak ketiga. Meskipun
begitu, tokoh Tartuffe tetap menjadi tokoh utama karena selalu menjadi pusat
dan pokok pembicaraan. Hal ini diperkuat dengan percakapan tokoh-tokoh lain yang
memperdebatkan masalah kehadiran Tartuffe di keluarga Orgon sejak awal.
Sesuai dengan Teori Mimesis
yang dicetuskan oleh Plato bahwa sebuah karya sastra merupakan tiruan dan
bayangan dari hal-hal yang ada dalam kenyataan (Plato via Teeuw, 1984: 220).
Berdasarkan teori tersebut, dirumuskan
sebuah hipotesis bahwa tokoh Tartuffe yang terdapat dalam naskah drama
ini adalah sebuah representatif terhadap kaum gereja di Prancis yang pada masa
itu memegang peranan penting. Tartuffe bisa dikatakan sebagai satire sosial
yang ditujukan kepada kaum rohaniawan yang sangat berpengaruh di masa itu. Oleh
sebab itu, drama ini mendapat reaksi keras dari berbagai kelompok yang
tersinggung dari lakon tersebut. Bahkan drama Tartuffe sempat dilarang karena
dekrit Uskup Agung Paris yang menyatakan siapapun yang
menonton, memainkan, atau membaca naskah tersebut tidak akan diakui lagi
sebagai anggota jemaat.
Drama Tartuffe bercerita
tentang tokoh bernama Tartuffe yang merupakan seorang rohaniawan, namun sikap
dan sifatnya tidak mencerminkan rohaniawan sejati. Segala tingkah lakunya
mengindikasikan Tartuffe sebagai seorang yang munafik. Dengan keahliannya,
Tartuffe berhasil mengambil hati Orgon sehingga ia dapat tinggal di rumah
Orgon. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Orgon dengan Cleante yang
menunjukan ketertarikan Orgon terhadap Tartuffe.
Orgon : Ah! Coba kau lihat bagaimana aku dulu bertemu dengannya, maka
kau akan merasakan perasaan yang sama seperti aku untuknya. Setiap hari ia
datang ke gereja dengan wajah yang lembut, tepat di depanku di atas kedua
dengkulnya ia berlutut. Ia menarik perhatiaan seluruh jemaat karena gairahnya
dalam doa yang dilontarkannya kepada Tuhan; mendesah-desahlah ia, bergejolak
tangannya, dan sebentar-sebentar, ia mencium tanah dengan khidmat;
...
Kuberi Tartuffe sedekah; Namun dengan
sopan, ia selalu ingin mengembalikan sebagian. “Terlalu banyak”, katanya,
“separuh terlalu banyak. Mendapat belas kasihan Anda, aku tak layak.” Dan waktu
aku tak mau mengambilnya kembali, di depan mataku, ia limpahkan kelebihan
sedekahku pada orang miskin. Akhirnya atas panggilan Tuhan aku menampung dia di
rumahku.
…
(halaman 24)
Dari kutipan di atas, dapat di lihat bahwa Tartuffe
merupakan pengasuh rohani keluarga Orgon. Orgon selalu bertemu Tartuffe yang
sedang berdoa dengan khusuk sehingga ia tertarik dengan kepribadian Tartuffe.
Di matanya, Tartuffe terlihat alim dan dermawan meskipun di tengah kekurangan yang
dimilikinya.
Melalui percakapan antara
Dorine dan Mariane, diperoleh sedikit informasi mengenai deskripsi fisik
Tartuffe. Berikut ini adalah pendapat Dorine mengenai fisik Tartuffe, “ …
Tartuffe adalah bangsawan dan juga berperawakan bagus. Telinga merah dan cahaya
kulitnya segar bugar: Anda akan hidup amat sangat senang bersama suami seperti
dia. (halaman 55)”.
Tartuffe sebagai tokoh utama
dapat dikatakan sebagai tokoh yang dinamis. Kedinamisan tokoh ini dapat dilihat
dari perubahan sifatnya yang ketika berhadapan dengan Orgon. Seluruh keluarga
tidak percaya kepada Tartuffe dan hendak menyadarkan Orgon tentang kemunafikan
Tartuffe. Namun, kemampuan Tartuffe yang bermuka dua berhasil meyakinkan Orgon
sehingga Ia sangat peduli dengan keadaan Tartuffe. Hal ini terlihat dari
percakapan antara Dorine dengan Orgon ketika Orgon menanyakan keadaan rumah
sepeninggalanya selama beberapa hari.
Dorine :
Dua hari yang lalu, Nyonya terserang demam sampai petang, dengan sakit kepala yang
sulit dibayangkan.
Orgon : Dan Tartuffe?
Dorine : Tartuffe? Dia sehat
walafiat, gemuk, kulitnya segar dan mulutnya kemerah-merahan.
Orgon : Aduh kasihan!
Dorine :
Petang itu Nyonya tidak lapar dan tak dapat menyantap apapun pada saat makan
malam, sakit kepalanya masih begitu parah!
Orgon : Dan Tartuffe?
Dorine :
Dia makan seorang diri di hadapan Nyonya, dan dengan cara makannya yang alim
itu, ia makan dua ekor ayam hutan dan separuh paha kambing hitam
Orgon : Aduh kasihan!
Dorine :
Semalam suntuk, tak sesaat pun Nyonya dapat memejamkan mata; suhu badannya yang
panas mencegahnya bahkan untuk tidur-tidur ayam, dan sampai pagi kami terpaksa
berjaga di sisinya.
Orgon : Dan Tartuffe?
Dorine :
Terdorong oleh kantuk yang nikmat, Ia langung masuk kamar sesudah makan, dan ia
segera naik ke atas ranjangnya yang enak dan hangat, dan tidur sampai esok
harinya tanpa gangguan.
Orgon : Aduh kasihan!
(Halaman 19-21)
Dari kutipan di atas
terlihat perhatian Orgon yang kelewat batas terhadap Tartuffe. Bahkan ketika
istrinya, Nyonya Elmire, sakit, terlihat Orgon justru lebih peduli dengan
keadaan Tartuffe. Dari kutipan di atas pula, tersurat bahwa Tartuffe adalah
orang yang rakus. Ia makan banyak tanpa mempedulikan Nyonya Elmire yang sedang
menderita sakit di dekatnya. Padahal menurut Agama Kristen, sifat rakus
merupakan salah satu dari dosa yang mendasar. Sikapnya ini tentunya bertolak
belakang dengan sikap yang seharusnya ditunjukan oleh seorang rohaniawan.
Segala keburukan sikap
Tartuffe ditutupinya dengan keahliannya dalam bersilat lidah. Selain itu, dia
selalu menunjukan kerendahan hati untuk mendapat simpati Orgon. Berikut ini
adalah kutipan percakapan antara Tartuffe dengan Orgon yang menunjukan
kelihaian Tartuffe dalam mempengaruhi orang lain untuk memperoleh keinginannya.
Tartuffe : Sudahlah; jangan
kita bicarakan lagi. Tapi aku tahu bagaimana aku harus bertindak dalam hal ini.
Kehormatanku itu mudah tersinggung, dan persahabatan mendorongku untuk mencegah
desas-desus dan hal-hal menjengkelkan itu: Aku akan menghindari isteri Anda dan
Anda tidak akan melihatku…
Orgon : Jangan, biar bagaimanapun, Anda harus tetap mengunjungi
istriku. Membuat orang jengkel adalah kesenanganku yang paling besar, dan aku
mau Anda setiap saat kelihatan bersamanya. Itu belum apa-apa: untuk lebih
menentang mereka semua, aku tidak mau me4mpunyai pewaris lain selain Anda, dan
segera, dengan cara halus, aku akan menghadiahkan seluruh harta bendaku kepada
Anda. Seorang teman yang baik dan juur yang kuambil sebagai menantu, lebih
berarti bagiku daripada seorang putra, istri, atau kerabat, Anda mau menerima
apa yang kutawarkan bukan?
(Halaman 105-106)
Sifat munafik yang terdapat
dalam tokoh Tartuffe dipertegas dengan sikapnya yang tamak. Kutipan di atas
memperlihatkan bahwa Tartuffe sangat lihai mengambil hati Orgon sehingga Orgon
mau melakukan apa saja demi Tartuffe. Dia bahkan mengusir putra kandungnya
untuk membela Tartuffe. Tidak hanya itu, secara sadar Orgon memberikan
kekayaannya kepada Tartuffe dan menjodohkan Tartuffe dengan putrinya, Mariane.
Di sisi lain, ternyata Tartuffe menaruh hati pada Elmire, isri Orgon. Hal ini
tampak pada kutipan berikut ketika Tartuffe sedang merayu Elmire.
Tartuffe : … akhirnya aku
menyadari, wahai juwita yang penuh dengan cinta, bahwa nafsu birahi ini bisa
saja bukan hal yang tercela; bahwa dengan sopan aku dapat menyesuaikannya dan
itulah yang menyebabkan aku membiarkan hatiku memperturutkan nafsu birahi itu.
Bagiku, kuakui, adalah kenekatan yang sangat besar berani mepersembahkan kepada
Anda hati ini;
namun dalam permohonanku ini
kuharapkan segalanya dari kebaikan anda, dan tak ada usaha sia-sia dari
kelemahanku. Dalam diri Anda terletak harapanku, kebaikanku, kedamaian hatiku:
duka citaku atau kebahagiaanku yang sempurna tergantung dari Anda: dan akhirnya
berkat putusan Anda semata, aku akan, berbahagia jika Anda mau, sengsara jika
Anda suka.
( Halaman 86)
Percakapan antara Tartuffe dengan Elmire di atas
menunjukan dengan jelas bahwa Tartuffe mencintai istri Orgon. Ia bahkan merayu
Elmire untuk mengkhianati suaminya dengan berselingkuh dengannya. Kelemahan
Tartuffe inilah yang dimanfaatkan Elmire untuk menunjukan kemunafikan Tartuffe
dan menyadarkan Orgon tentang Tartuffe yang sebenarnya.
Drama Tartuffe seakan menampilkan
realita kehidupan yang ada di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, banyak orang
munafik di kehidupan. Namun, bukan berarti ketika drama Tartuffe yang
menceritakan seseorang rohaniawan yang munafik lalu kita dengan seenaknya
menghakimi setiap rohaniawan adalah orang munafik. Saya sendiri
menginterprestasikan naskah drama ini sebagai cermin untuk mengintropeksi diri.
Jika dalam Tartuffe ini diceritakan kemunafikan dari seorang yang dikenal alim,
apalagi dengan diri kita. Karena sesungguhnya, tidak ada ukuran yang pasti
dalam menentukan kemunafikan.
Sumber :
Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra: pengantar memahami sastra
untuk perguruaan tinggi. Magelang: IndonesiaTera,
Moliere. 2008. Tartuffe.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar
Teori Sastra.. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Ditulis tanpa kemunafikan, Vini Anisya Nofiani
Ditulis tanpa kemunafikan, Vini Anisya Nofiani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar