Sabtu, 17 Maret 2012

Analisis Puisi Salam Seorang Prajurit Karya F.L. Risakotta



Karya sastra dibagi atas tiga bagian, yaitu puisi, prosa, dan drama. Menurut Pradopo[1], puisi adalah karya sastra yang kompleks pada setiap lariknya mempunyai makna yang dapat ditafsirkan secara denotatif atau pun konotatif. Sebagai karya sastra, puisi bersifat multitafsir. Setiap orang dapat menafasirkan puisi berbeda-beda sesuai latar belakang pengetahuan.
            Tulisan ini membahas mengenai puisi karya F. L. Risakotta yang berjudul Salam Seorang Pradjurit. Puisi ini dikaji dengan Teori Mimesis yang dicetuskan oleh Plato. Teori ini mengungkapkan bahwa karya sastra merupakan tiruan dan bayangan dari hal-hal yang ada di kenyataan[2]. Berdasarkan teori tersebut, dibuat hipotesis bahwa puisi Salam Seorang Pradjurit menggambarkan kondisi politik di Indonesia. Berikut ini adalah Puisi Salam Seorang Pradjurit.
            Salam Seorang Pradjurit
            Ditepi sungai Asahan kami berdjumpa
            seorang pradjurit tua tak berpangkat, katanja:
            “beribu kami berdiri disini
            mendjaga bumi merdeka ini.”
            Aku tak tanja asal kampungnja
            baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
            Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
            sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
            Aku tak tanja apa pangkatnja
            sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.
            Tepi-air tak sampai menjentuh tempat kami berdiri
            tapi bumi ini mengikatnja sedalam tjinta dihati
            ia berbisik:
            “djangan tuan mimpi kemerdekaan punja isi
            kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi.”

            Dari balik wadjah tak berubah
            Ia ingat pesan Bung Karno dalam dwikora:
            “Ganjang Malaysia, perkuat ketahanan revolusi”
            Dan matanja menjala mengukir kemenangan
            suara tawanja dibawa air ketepi-tepi pantai pasir tanah air

            tawa seorang pradjurit jang rindu
            rindu pada kemerdekaan penuh

            Ketika sendja tiba dan aku akan ke Djakarta
            kami harus berpisah dan katanja:
            “Salamku pada Bung Aidit,
            sampaikan, akulah anak tani jang jadi pradjurit,
            beribu anak tani berdiri disini,
            dengan sendjata bela kemerdekaan ini sampai mati.”
(F. L. Risakotta)         
            Puisi yang berjudul Salam Seorang Pradjurit ini menceritakan perjumpaan seorang dengan prajurit tua yang tidak memiliki pangkat. Prajurit tua di sini seakan menjadi simbol dari rakyat yang menjadi pejuang kemerdekaan untuk membela tanah air tanpa mengharap tanda jasa. Hal ini terlihat dari kata ‘tidak memiliki pangkat” yang menyiratkan dengan keiklasan untuk membela tanah air atas dasar kecintaannya. Hal ini dipertegas pada bait pertama puisi ini
            Aku tak tanja asal kampungnja
            baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
            Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
            sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
            Aku tak tanja apa pangkatnja
            sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.
            Baris-baris kutipan puisi ini seakan menjelaskan dengan jelas bahwa bagi prajurit tua ini tanah air adalah segalanya, Perulang klausa aku tak tanya yang menanyakan asal dan pangkat mengenai prajurit tua tersebut mengisyaratkan bahwa bibit, bebet, dan bobot seseorang tidaklah penting jika dibandingkan dengan pengabdiaan tulus rakyat masa itu demi kemerdekaan sejati. Jika dibandingkan dengan masa kini, tentu kita akan miris dengan kenyataan ini. Masyarakat Indonesia masa kini seakan tidak begitu peduli dengan keadaan bangsa. Para petinggi negara ini yang menyandang pangkat tinggi pun hanya mementingkan urusan individu mereka semata tanpa benar-benar memperhatikan rakyat. Penghormatan dan kekuasaan tertinggi di masa ini pun diberikan pada penyandang pangkat, bukan lagi pada rakyat
            Puisi yang terdiri atas lima bait ini dapat dikatakan sarat akan unsur politik di dalamnya, terlihat bahwa puisi ini berfungsi propaganda. Propaganda di sini berarti penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu[3]. Propoganda pada puisi ini terlihat jelas pada bait kedua.
            “djangan tuan mimpi kemerdekaan punja isi
            kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi.”
Dari kutipan ini, terlihat bahwa yang diinginkan oleh prajurit ini bukan sekedar kemerdekaan, melainkan juga revolusi total. Kata-kata di atas dengan jelas mengungkapakan tujuan dari puisi ini sebagai alat propaganda untuk mewujudkan revolusi total di tanah air Indonesia. Propaganda yang dilontarkan puisi ini tidak hanya sekedar meneriakan revolusi, tapi juga seruan untuk mengalahkan dan bahkan menghancurkan Malaysia untuk mempertahankan revolusi. Hal ini terlihat pada cungkilan puisi di bawah ini.
               Ia ingat pesan Bung Karno dalam dwikora:
            “Ganjang Malaysia, perkuat ketahanan revolusi
            Puisi Salam Seorang  Pradjurit juga seakan merujuk pada ideologi komunis yang sempat berkembang di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan pernyataan pada bait terakhir yang berisi:
            “Salamku pada Bung Aidit,
            sampaikan, akulah anak tani jang jadi pradjurit,
            beribu anak tani berdiri disini,
            dengan sendjata bela kemerdekaan ini sampai mati.”
Penyebutan ‘Bung Aidit’ seakan merujuk langsung pada Dipa Nusantara Aidit yang terkenal karena menjabat sebagai ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia . Aidit inilah yang juga menjadi penggagas pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Secara keseluruhan puisi Salam Seorang Pradjurit tidak dapat dilepaskan dengan PKI. Terlebih lagi F. L . Risakotta tercatat sebagai penyair Harian Rakyat yang menjadi media PKI di masa itu. Selain itu, puisi Salam Seorang Pradjurit juga memiliki ciri-ciri memihak pada rakyat dan pencerminan konkrit dari kehidupan yang menjadi ciri utama puisi-puisi Lekra.

SUMBER:
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi     Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan          Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University            Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
                                   


[1] (Pradopo:1995:3 )
[2] (Plato via Teeuw, 1984: 220)
[3] (KBBI, 2005: 898)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar