Karya sastra dibagi
atas tiga bagian, yaitu puisi, prosa, dan drama. Menurut Pradopo[1],
puisi adalah karya sastra yang kompleks pada setiap lariknya mempunyai makna
yang dapat ditafsirkan secara denotatif atau pun konotatif. Sebagai karya
sastra, puisi bersifat multitafsir. Setiap orang dapat menafasirkan puisi
berbeda-beda sesuai latar belakang pengetahuan.
Tulisan
ini membahas mengenai puisi karya F. L. Risakotta yang berjudul Salam Seorang
Pradjurit. Puisi ini dikaji dengan Teori
Mimesis yang dicetuskan oleh Plato. Teori ini mengungkapkan bahwa karya sastra
merupakan tiruan dan bayangan dari hal-hal yang ada di kenyataan[2].
Berdasarkan teori tersebut, dibuat hipotesis bahwa puisi Salam Seorang
Pradjurit menggambarkan kondisi politik di Indonesia. Berikut ini adalah Puisi
Salam Seorang Pradjurit.
Salam
Seorang Pradjurit
Ditepi
sungai Asahan kami berdjumpa
seorang pradjurit tua tak berpangkat, katanja:
“beribu kami berdiri disini
mendjaga bumi merdeka ini.”
Aku tak tanja asal kampungnja
baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
Aku tak tanja apa pangkatnja
sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.
Tepi-air tak sampai menjentuh tempat kami berdiri
tapi bumi ini mengikatnja sedalam tjinta dihati
ia berbisik:
“djangan tuan mimpi kemerdekaan punja isi
kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi.”
seorang pradjurit tua tak berpangkat, katanja:
“beribu kami berdiri disini
mendjaga bumi merdeka ini.”
Aku tak tanja asal kampungnja
baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
Aku tak tanja apa pangkatnja
sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.
Tepi-air tak sampai menjentuh tempat kami berdiri
tapi bumi ini mengikatnja sedalam tjinta dihati
ia berbisik:
“djangan tuan mimpi kemerdekaan punja isi
kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi.”
Dari balik wadjah tak berubah
Ia ingat pesan Bung Karno dalam dwikora:
“Ganjang Malaysia, perkuat ketahanan revolusi”
Dan matanja menjala mengukir kemenangan
suara tawanja dibawa air ketepi-tepi pantai pasir tanah air
tawa seorang pradjurit jang rindu
rindu pada kemerdekaan penuh
Ketika sendja tiba dan aku akan ke Djakarta
kami harus berpisah dan katanja:
“Salamku pada Bung Aidit,
sampaikan, akulah anak tani jang jadi pradjurit,
beribu anak tani berdiri disini,
dengan sendjata bela kemerdekaan ini sampai mati.”
(F. L. Risakotta)
Puisi yang berjudul Salam
Seorang Pradjurit ini menceritakan perjumpaan seorang dengan prajurit tua yang
tidak memiliki pangkat. Prajurit tua di sini seakan menjadi simbol dari rakyat
yang menjadi pejuang kemerdekaan untuk membela tanah air tanpa mengharap tanda
jasa. Hal ini terlihat dari kata ‘tidak memiliki pangkat” yang menyiratkan
dengan keiklasan untuk membela tanah air atas dasar kecintaannya. Hal ini
dipertegas pada bait pertama puisi ini
Aku
tak tanja asal kampungnja
baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
Aku tak tanja apa pangkatnja
sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.
baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
Aku tak tanja apa pangkatnja
sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.
Baris-baris kutipan puisi
ini seakan menjelaskan dengan jelas bahwa bagi prajurit tua ini tanah air
adalah segalanya, Perulang klausa aku tak
tanya yang menanyakan asal dan pangkat mengenai prajurit tua tersebut mengisyaratkan
bahwa bibit, bebet, dan bobot seseorang tidaklah penting jika dibandingkan
dengan pengabdiaan tulus rakyat masa itu demi kemerdekaan sejati. Jika
dibandingkan dengan masa kini, tentu kita akan miris dengan kenyataan ini.
Masyarakat Indonesia masa kini seakan tidak begitu peduli dengan keadaan
bangsa. Para petinggi negara ini yang menyandang pangkat tinggi pun hanya
mementingkan urusan individu mereka semata tanpa benar-benar memperhatikan
rakyat. Penghormatan dan kekuasaan tertinggi di masa ini pun diberikan pada
penyandang pangkat, bukan lagi pada rakyat
Puisi yang terdiri atas
lima bait ini dapat dikatakan sarat akan unsur politik di dalamnya, terlihat
bahwa puisi ini berfungsi propaganda. Propaganda di sini berarti penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar
atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu
aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu[3]. Propoganda pada puisi ini terlihat jelas
pada bait kedua.
“djangan
tuan mimpi kemerdekaan punja isi
kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi.”
kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi.”
Dari kutipan ini, terlihat bahwa yang diinginkan oleh prajurit ini bukan
sekedar kemerdekaan, melainkan juga revolusi total. Kata-kata di atas dengan
jelas mengungkapakan tujuan dari puisi ini sebagai alat propaganda untuk
mewujudkan revolusi total di tanah air Indonesia. Propaganda yang dilontarkan
puisi ini tidak hanya sekedar meneriakan revolusi, tapi juga seruan untuk
mengalahkan dan bahkan menghancurkan Malaysia untuk mempertahankan revolusi.
Hal ini terlihat pada cungkilan puisi di bawah ini.
Ia ingat pesan Bung Karno dalam dwikora:
“Ganjang Malaysia, perkuat ketahanan revolusi
“Ganjang Malaysia, perkuat ketahanan revolusi
Puisi Salam Seorang Pradjurit juga seakan merujuk pada ideologi
komunis yang sempat berkembang di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan
pernyataan pada bait terakhir yang berisi:
“Salamku
pada Bung Aidit,
sampaikan, akulah anak tani jang jadi pradjurit,
beribu anak tani berdiri disini,
dengan sendjata bela kemerdekaan ini sampai mati.”
sampaikan, akulah anak tani jang jadi pradjurit,
beribu anak tani berdiri disini,
dengan sendjata bela kemerdekaan ini sampai mati.”
Penyebutan
‘Bung Aidit’ seakan merujuk langsung pada Dipa Nusantara Aidit yang terkenal
karena menjabat sebagai ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia . Aidit
inilah yang juga menjadi penggagas pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra). Secara keseluruhan puisi Salam Seorang Pradjurit tidak dapat
dilepaskan dengan PKI. Terlebih lagi F. L . Risakotta tercatat sebagai penyair Harian Rakyat yang menjadi media PKI di
masa itu. Selain itu, puisi Salam Seorang Pradjurit juga memiliki ciri-ciri
memihak pada rakyat dan pencerminan konkrit dari kehidupan yang menjadi ciri
utama puisi-puisi Lekra.
SUMBER:
Departemen Pendidikan Nasional.
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A.
1984. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar