Bahasa adalah gudang ilmu pengetahuan yang di dalamnya memuat keseluruhan
sejarah umat manusia. Ketika sebuah bahasa punah, pengetahuan yang terdapat di
dalamnya akan ikut punah. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa,
kaum tersebut akan kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Oleh
karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kepunahan bahasa sama
dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan.
Terkait dengan isu kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, tulisan ini akan memaparkan tiga hal penting, antara lain (1) fakta-fakta terkait
dengan ancaman kepunahan bahasa, (2) penyebab utama dan pendorong kepunahan
bahasa, dan (3) usaha pencegahaan kepunahan bahasa.
Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, terdapat 742 bahasa
daerah. Namun, hanya 13 bahasa yang memiliki penutur di atas satu juta. Tiga
belas bahasa itu adalah bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang,
Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Sasak (Kompas, 14
November 2007). Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur
menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, semakin kuat ketahanan bahasa itu.
Dengan demikian, semakin jauh bahasa tersebut dari kepunahan.
Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar ”Empowering Local
Language Through ICT” yang diadakan Departemen Komunikasi dan Informatika,
Senin (11/8/2008) di Jakarta, mengungkapkan dari 729 bahasa daerah yang
penuturnya kurang dari satu juta orang, sekitar 169 bahasa terancam punah
karena berpenutur kurang dari 500 orang. Bahasa yang terancam punah tersebut
tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Bahasa
Lom (Sumatera), misalnya, hanya berpenutur 50 orang. Di Sulawesi bahasa
Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, dan Baras
250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Kareho Uheng 200 penutur,
dan Punan Merah 137 penutur. Di Maluku,
bahasa Hukumina 1 penutur, Kayeli 3 penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10
penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua, bahasa
Mapia 1 penutur, Tandia 2 penutur, Bonerif 4 penutur, dan bahasa Saponi 10
penutur.
Fakta kepunahan bahasa seperti tersebut di atas cukup mencengangkan,
Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur
bahasa daerah yang sangat sedikit. Apabila kita tilik lebih dalam, kita dapat
melihat bahwa bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut banyak terdapat di
Indonesia Timur. Hal tersebut dikarenakan diversitas bahasa di Indonesia timur
lebih kaya. Jika kita lihat di pulau Jawa hanya terdapat tiga bahasa terbesar,
Jawa, Sunda, dan Madura, yang memiliki banyak dialek. Berbeda dengan Indonesia
Timur yang memang memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda.
Penyebab Kepunahan Bahasa
UNESCO mengatakan: When a language
dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends,
poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika
sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah
besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi
akan ikut punah.
Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10)
mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua
tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara
aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebagai contoh
adalah orangtua keturunan Sumatra yang kita sebut saja memakai bahasa A. Karena
pergeseran penggunaan bahasa A, orang tua tersebut mendidik anak-anaknya untuk
memakai bahasa Indonesia dalam keluarganya. Didikan seperti itu sangat dianjurkan. Namun,
bahasa daerah kita sendiri jangan ditinggalkan, budaya berbahasa kita sendiri
juga harus mengerti dan fasih. Gerak ke arah kepunahan
akan menjadi lebih cepat apabila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam
ranah sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaan pengunaan bahasa dalam
sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.
Sedangkan Landweer (dalam Ibrahim, 2008: 11) mengemukakan sebab lain punahnya
suatu bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari
pilihan penggunaan bahasa sebagian besar
masyarakat tuturnya. Seringkali
terjadi diskrimitatif, bahwa orang yang berbahasa daerah adalah orang-orang
kampungan. Karena itu, orang lebih memilih untuk tidak memakai bahasa daerah. Hal ini terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa masyarakat
tuturnya. Jika orang tua tidak memilih untuk memakai bahasa daerah di samping
bahasa Indonesia kepada keturunananya, maka pergerakan bahasa ke arah kepunahan
akan semakin cepat.
Di luar soal pemertahanan bahasa terdapat berbagai hal penting yang
mendorong percepatan kepunahan suatu bahasa. Hal tersebut adalah bahasa daerah
yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak memiliki
tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang, jika tidak segera
didokumentasikan, akan sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Ditambah
lagi, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang
berstatus bahasa nasional.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang turut mempercepat kepunahan
suatu bahasa. Summer Institute of linguistics (SIL) mengemukakan setidaknya
terdapat 12 faktor: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3)
digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) pengunaan
bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan
identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum
muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9)
intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, (12)
kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula
tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara
berdampingan (Ibrahim 2008:10). Dua belas faktor tersebut sangat berpengaruh
terhadap upaya pencegahan punahnya suatu bahasa. Dengan melihat pada
faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa sehingga kita dapat mempelajari
dan melakukan usaha agar kepunahan bahasa dapat dicegah.
Gejala-gejala Kepunahan
Bahasa
Salah satu keadaan yang memperlihatkan gejala-gejala kepunahan bahasa
adalah penurunan secara drastis jumlah penutur aktif. Seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat kita
lihat beberapa bahasa yang memiliki penutur tidak lebih dari lima orang. Kita
ambil contoh bahasa Hukumina di Maluku yang hanya memiliki satu orang penutur.
Apabila satu orang penutur tersebut meninggal, tidak hanya jasadnya saja yang
terkubur, pengetahuan tentang bahasa terkait akan ikut terkubur dan bahasa
Hukumina tersebut akan punah.
Keadaan lain yang tidak kalah
memprihatinkan adalah pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia
muda. Dewasa ini, generasi muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah
mereka masing-masing. Kebanyakan hanya menguasai secara pasif. Generasi muda
tersebut mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi tidak dapat berbicara
dengan bahasa tersebut. Lebih dari itu, beberapa bahkan tidak peduli dengan
bahasa daerah dan enggan menggunakannya. Hal tersebut disebabkan oleh generasi
muda sekarang lebih menyukai memakai bahasa asing dan bahasa nasional, bahasa
Indonesia, dibandingkan bahasa daerah. Jika keadaan seperti ini terus
berlanjut, bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang akan semakin banyak
bahasa daerah yang pada akhirnya punah terkikis zaman.
Usaha Pencegahan Kepunahan Bahasa
Bahasa adalah penciri utama suatu
budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya lainnya. Tradisi yang
diekspresikan dengan tindakan nyata antara bangsa yang satu dengan bangsa yang
lain boleh saja sama, tetapi ketika kita mendengar “bahasa” yang terucap, akan
segera tampak perbedaannya. “Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian kata sebuah
pepatah.
Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti
etnosentris. Sebagai Warga Negara Indonesia, kita diharapkan untuk dapat
memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bukan berarti kita
melupakan bahasa daerah. Pemilihan pemakaian antara pemakaian bahasa Indonesia
dengan pemakaian bahasa daerah dapat
disesuaikan dengan konteks yang ada. Dengan demikian, bahasa daerah dapat tetap
sejalan dengan bahasa Indonesia serta dapat menjaga kelangsungan bahasa daerah
dari kepunahan. Untuk mempertahankan keberlangsungan
bahasa daerah tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak.
Diperlukan kemauan dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk
mempertahankan bahasa yang terancam punah.
Usaha yang dapat diupayakan untuk mencegah kepunahan bahasa antara lain
dengan mengolah bahasa daerah yang terancam punah menjadi buku dan mulai
diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal
sehingga dikenal generasi muda. Selain itu, bahasa daerah juga dapat
dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama
kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama
lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah
nama dalam bahasa Indonesia. Menghidupkan bahasa daerah tentu saja tidak hanya
sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan
nama jalan raya, tetapi dengan tindakan
yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.
Pemerintah sendiri telah menunjukan keberpihakannya dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian,
Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Selain itu, Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan membuat bidang khusus
untuk perlindungan bahasa Indonesia dan daerah. Perlindungan itu akan lebih
mengarah kepada bahasa daerah dan sastra lisan yang hampir punah. Ada dua
langkah yang akan diterapkan Pusat Bahasa untuk perlindungan, yaitu dokumentasi
dan revitalisasi. dokumentasi
berbentuk pengumpulan kosa kata dan merekamnya, kemudian revitalisasi untuk
menghidupkan kembali dengan cara mengadakan berbagai pagelaran festival seni.
Penutup
Fakta kepunahan bahasa cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah
bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat
sedikit. Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh bahasa
daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung tidak memiliki tulisan dan
berkurangnya pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah. Selain itu, adanya tuntutan
bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa
nasional.
Untuk mencegahan kepunahan bahasa tidak hanya sekedar membuat kurikulum
mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya,
melainkan dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya
sebagai bahasa
tutur aktif.
Referensi
Anonim. 2008. “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”. Kompas, 12
Agustus 2008.
Agustus 2008.
Ibrahim,
Gamil. “Bahasa daerah Lampung Terancam Punah”.
http://gamil-opinion.blogspot.com (20 Februari 2010)
Ibrahim,
Gufran Ali. "Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan
Strategi Perawatannya". Makalah yang disampaikan pada Kongres
Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.
Masinambow. “Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah”. Jakarta. 1976
-Oleh: Anisya Nofiani
-Oleh: Anisya Nofiani
ijin copas yah.. buat tugas sekolah =)
BalasHapus