Sabtu, 17 Maret 2012

Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah



 
Bahasa adalah gudang ilmu pengetahuan yang di dalamnya memuat keseluruhan sejarah umat manusia. Ketika sebuah bahasa punah, pengetahuan yang terdapat di dalamnya akan ikut punah. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa, kaum tersebut akan kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan.
Terkait dengan isu kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, tulisan ini akan memaparkan tiga hal penting, antara lain (1) fakta-fakta terkait dengan ancaman kepunahan bahasa, (2) penyebab utama dan pendorong kepunahan bahasa, dan (3) usaha pencegahaan kepunahan bahasa.
Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, terdapat 742 bahasa daerah. Namun, hanya 13 bahasa yang memiliki penutur di atas satu juta. Tiga belas bahasa itu adalah bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Sasak (Kompas, 14 November 2007). Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, semakin kuat ketahanan bahasa itu. Dengan demikian, semakin jauh bahasa tersebut dari kepunahan.
Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar ”Empowering Local Language Through ICT” yang diadakan Departemen Komunikasi dan Informatika, Senin (11/8/2008) di Jakarta, mengungkapkan dari 729 bahasa daerah yang penuturnya kurang dari satu juta orang, sekitar 169 bahasa terancam punah karena berpenutur kurang dari 500 orang. Bahasa yang terancam punah tersebut tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Bahasa Lom (Sumatera), misalnya, hanya berpenutur 50 orang. Di Sulawesi bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, dan Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Kareho Uheng 200 penutur, dan  Punan Merah 137 penutur. Di Maluku, bahasa Hukumina 1 penutur, Kayeli 3 penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua, bahasa Mapia 1 penutur, Tandia 2 penutur, Bonerif 4 penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.
Fakta kepunahan bahasa seperti tersebut di atas cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat sedikit. Apabila kita tilik lebih dalam, kita dapat melihat bahwa bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut banyak terdapat di Indonesia Timur. Hal tersebut dikarenakan diversitas bahasa di Indonesia timur lebih kaya. Jika kita lihat di pulau Jawa hanya terdapat tiga bahasa terbesar, Jawa, Sunda, dan Madura, yang memiliki banyak dialek. Berbeda dengan Indonesia Timur yang memang memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda.

Penyebab Kepunahan Bahasa
            UNESCO mengatakan: When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.
            Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10) mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebagai contoh adalah orangtua keturunan Sumatra yang kita sebut saja memakai bahasa A. Karena pergeseran penggunaan bahasa A, orang tua tersebut mendidik anak-anaknya untuk memakai bahasa Indonesia dalam keluarganya. Didikan seperti itu sangat dianjurkan. Namun, bahasa daerah kita sendiri jangan ditinggalkan, budaya berbahasa kita sendiri juga harus mengerti dan fasih. Gerak ke arah kepunahan akan menjadi lebih cepat apabila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam ranah sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaan pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.
Sedangkan Landweer (dalam Ibrahim, 2008: 11) mengemukakan sebab lain punahnya suatu bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan bahasa  sebagian besar masyarakat tuturnya. Seringkali terjadi diskrimitatif, bahwa orang yang berbahasa daerah adalah orang-orang kampungan. Karena itu, orang lebih memilih untuk tidak memakai bahasa daerah. Hal ini terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa masyarakat tuturnya. Jika orang tua tidak memilih untuk memakai bahasa daerah di samping bahasa Indonesia kepada keturunananya, maka pergerakan bahasa ke arah kepunahan akan semakin cepat.
Di luar soal pemertahanan bahasa terdapat berbagai hal penting yang mendorong percepatan kepunahan suatu bahasa. Hal tersebut adalah bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak memiliki tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang, jika tidak segera didokumentasikan, akan sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Ditambah lagi, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang turut mempercepat kepunahan suatu bahasa. Summer Institute of linguistics (SIL) mengemukakan setidaknya terdapat 12 faktor: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3) digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) pengunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, (12) kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara berdampingan (Ibrahim 2008:10). Dua belas faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan punahnya suatu bahasa. Dengan melihat pada faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa sehingga kita dapat mempelajari dan melakukan usaha agar kepunahan bahasa dapat dicegah.

Gejala-gejala Kepunahan Bahasa

Salah satu keadaan yang memperlihatkan gejala-gejala kepunahan bahasa adalah penurunan secara drastis jumlah penutur aktif. Seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat kita lihat beberapa bahasa yang memiliki penutur tidak lebih dari lima orang. Kita ambil contoh bahasa Hukumina di Maluku yang hanya memiliki satu orang penutur. Apabila satu orang penutur tersebut meninggal, tidak hanya jasadnya saja yang terkubur, pengetahuan tentang bahasa terkait akan ikut terkubur dan bahasa Hukumina tersebut akan punah.
Keadaan lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia muda. Dewasa ini, generasi muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing. Kebanyakan hanya menguasai secara pasif. Generasi muda tersebut mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi tidak dapat berbicara dengan bahasa tersebut. Lebih dari itu, beberapa bahkan tidak peduli dengan bahasa daerah dan enggan menggunakannya. Hal tersebut disebabkan oleh generasi muda sekarang lebih menyukai memakai bahasa asing dan bahasa nasional, bahasa Indonesia, dibandingkan bahasa daerah. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang akan semakin banyak bahasa daerah yang pada akhirnya punah terkikis zaman.

Usaha Pencegahan Kepunahan Bahasa

            Bahasa adalah penciri utama suatu budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya lainnya. Tradisi yang diekspresikan dengan tindakan nyata antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain boleh saja sama, tetapi ketika kita mendengar “bahasa” yang terucap, akan segera tampak perbedaannya. “Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian kata sebuah pepatah.
            Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti etnosentris. Sebagai Warga Negara Indonesia, kita diharapkan untuk dapat memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bukan berarti kita melupakan bahasa daerah. Pemilihan pemakaian antara pemakaian bahasa Indonesia dengan  pemakaian bahasa daerah dapat disesuaikan dengan konteks yang ada. Dengan demikian, bahasa daerah dapat tetap sejalan dengan bahasa Indonesia serta dapat menjaga kelangsungan bahasa daerah dari kepunahan. Untuk mempertahankan keberlangsungan bahasa daerah tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Diperlukan kemauan dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk mempertahankan bahasa yang terancam punah.
Usaha yang dapat diupayakan untuk mencegah kepunahan bahasa antara lain dengan mengolah bahasa daerah yang terancam punah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal  sehingga dikenal generasi muda. Selain itu, bahasa daerah juga dapat dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia. Menghidupkan bahasa daerah tentu saja tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya,  tetapi dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.
Pemerintah sendiri telah menunjukan keberpihakannya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Selain itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan membuat bidang khusus untuk perlindungan bahasa Indonesia dan daerah. Perlindungan itu akan lebih mengarah kepada bahasa daerah dan sastra lisan yang hampir punah. Ada dua langkah yang akan diterapkan Pusat Bahasa untuk perlindungan, yaitu dokumentasi dan revitalisasi. dokumentasi berbentuk pengumpulan kosa kata dan merekamnya, kemudian revitalisasi untuk menghidupkan kembali dengan cara mengadakan berbagai pagelaran festival seni.

Penutup

Fakta kepunahan bahasa cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat sedikit. Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung tidak memiliki tulisan dan berkurangnya pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah. Selain itu, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Untuk mencegahan kepunahan bahasa tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya, melainkan dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.

Referensi

Anonim. 2008. “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”. Kompas, 12
Agustus 2008.
Ibrahim, Gamil. “Bahasa daerah Lampung Terancam Punah”. http://gamil-opinion.blogspot.com (20 Februari 2010)

Ibrahim, Gufran Ali. "Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya". Makalah yang disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.
Karzi, Udo Z. ”Bahasa Daerah Terancam Punah”. http://ulun.lampunggech.com/2007/11/humaniora-726-bahasa-daerah-terancam.html (20 Februari 2010)
Masinambow. “Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah”. Jakarta. 1976


-Oleh: Anisya Nofiani

1 komentar: