Hari ini aku coba bikin kue kembang goyang dan alhamdulilah berhasil. yeaaaaah! Nah, ini resepnya:
Bahan:
1. tepung beras 250 gram
2. gula halus 1 sendok makan
3. tepung sagu 1 sendok makan
4. telur satu butir
5. vanili 1/4 sendok teh
6. santan 250 ml
7. minyak goreng
Cara membuat:
1. Campurkan tepung beras, gula halus, sagu, telur dan vanili. Aduk merata.
2. Tambahkan santan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk hingga adonan tidak ada lagi gerenjel-gerenjelnya.
3. panaskan minyak dan panaskan cetakan kembang goyang.
4. celupkan cetakan ke dalam adonan. Perlu diingat, bagian atas cetakan tidak boleh tertutup adonan. lalu masukkan ke dalam minyak, balik-balik hingga berwarna coklat keemasan. angkat
5. lakukan poin 4 berulang kali hingga adonan habis.
6. simpan di dalam toples
Sekian resep dari aku. selamat mencoba :D
TIPS:
> Cetakan kembang goyang harus panas, jika tidak adonan tidak akan menempel.
> Bagian atas cetakan jangan tertutup nanti adonan tidak mau terlepas
> kembang goyang yang disimpan dengan baik dapat bertahan hingga 3-4 bulan loh.
Minggu, 18 Maret 2012
Sabtu, 17 Maret 2012
Pengaruh Cerita Ramayana Terhadap Masyarakat Asia
Pengaruh Cerita Ramayana Terhadap
Masyarakat Asia
Kita
tentu pernah mendengar atau mengetahui cerita Ramayana. Cerita ini
berisi
petualangan Rama untuk merebut kembali istrinya, Sinta,
yang
dipaksa untuk menjadi istri Rahwana. Dari peristiwa tersebut, untuk mendapatkan
Sinta kembali, terjadilah perang besar untuk menghancurkan raja Rahwana. Cerita
petualangan Rama itu diadaptasi dari cerita Indian Ramayana oleh Valmiki. Cerita ini sangat populer di wilayah Asia sehingga sering
kali digubah dan menghasilkan berbagai versi cerita Rama. Pada tulisan ini akan membahas sejarah keberadaan cerita Ramayana dan Mahabarata di Asia, khususnya di
Indonesia.. Selain itu, akan dilihat persebaran cerita ini dan pengaruhnya bagi
masyarakat Asia
Cerita Ramayana berasal
dari India. Cerita ini telah menempuh perjalanan dari India ke Asia sejak permulaan
abad di zaman Kristen. Ramayana memencar melalui tiga rute: melalui darat, rute
utara membawa cerita dari Punjab dan Kashmir ke Cina, Tibet, dan Turki Timur;
melalui laut, rute selatan membawa cerita dari Gujarat dan India Selatan ke
Jawa, Sumatra dan Malaysia; dan melalui darat pula, rute timur membawa cerita
dari Bengal ke Burma, Thailand dan Laos. Vietnam dan Kamboja memeroleh sebagian
cerita dari Jawa dan sebagian dari India melalui rute timur.
Berdasarkan pemaparan di atas,
terlihat bahwa cerita Ramayana menyebar dari India ke seluruh
Asia, yaitu
di China, Tibet, Turki Timur, Vietnam, Jawa, Malaysia, Kamboja, Thailand, Laos,
dan Burma. Dilihat dari isi dan kualitasnya, cerita-cerita tersebut dibagi
menjadi dua, yaitu, cerita berdasarkan versi Valmiki, dan cerita bukan versi Valmiki.
Cerita berdasarkan versi Valmiki berada di China, Tibet, Vietnam, Jawa, Kamboja,
Laos, dan Thailand. Sedangkan cerita berdasarkan versi bukan Valmiki berada di
Turki Timur, Malaysia, Burma. Cerita berdasarkan versi bukan Valmiki ini mengenalkan
karakter baru, episode baru, dan tahapan baru. Kehadiran Valmiki di Asia
membuka kontak antara Asia dan Hindu Asia Utara, tempat Valmiki Ramayana
dibuat.
Sebagian negara di
Asia, kecuali China, menunjukkan mengenai pilihan mereka tentang cerita versi
bukan Valmiki dan mencampurkannya dengan kesenian mereka, tarian, dan drama. Di
Vietnam misalnya, Cerita Ramayana di Vietnam berkembang pada masa
kerajaan Champa yaitu pada abad ke-7 M. Cerita Ramayana digubah menurut lokalitas kerajaan Champa. Kerajaan Champa
dideskripsikan sebagai kerajaan Alenka dan kerajaan Annam sebagai kerajaan
Dasarata. Dengan kata lain, cerita Ramayana yang tersebar di Asia disesuaikan dengan kebudayaan serta kearifan lokal
setempat. .
Cerita Ramayana di Indonesia sendiri berkembang pada abad ke-9 M hingga
masa kerajaan Majapahit. Cerita itu diketahui sejak Jawa Kuno di dalam puisi lama dan
dalam ukiran dua candi, salah satunya Candi Prambanan di Jawa Tengah, yang
dibangun sekitar abad ke-9, dan yang lainnya adalah Candi Panataran di Jawa
Timur beberapa Masehi setelahnya. Banyak bagian penting di episode ini yang
dipahat di batu bangunan candi tersebut. Cerita Ramayana berkembang pesat pada masa
Majapahit. Umumnya pokok cerita di seluruh wilayah Indonesia sama. Namun, terkadang
ditemukan perbedaan besar dalam variasi cerita, terutama dalam hal hubungan
antar pelaku.
Terdapat tiga varian cerita Ramayana di Indonesia, yaitu
Kakawin Ramayana, Carit Ramayana, dan
Serat Kanda. Kakawin Ramayana tidak mengikutsertakan bagian pertama dan terakhir
buku Valmiki. Akan tetapi, secara keseluruhan Kakawin Ramayana mengikuti versi Valmiki. Dalam Carit Ramayana memasukkan bagian
terakhir buku Valmiki. Dalam cerita ini juga diceritakan asal mula Rahwana. Di Serat Kanda, kisah Ramayana diadaptasi oleh kaum muslim di Jawa. Kisau ini memiliki
kemiripan dengan kisah Adam dari Mekah. Di Semenanjung Malaya dan Sumatra
terdapat cerita Ramayana yaitu Hikayat
Sri Rama. Cerita ini memiliki kesamaan dengan Serat Kanda.
Ada
beberapa pertimbangan mengapa cerita asli diubah “keasliannya”. Itu merupakan
persetujuan perubahan “Serat Rama” yang dikenal di seluruh Jawa, atau Ramayana
dalam Jawa Kuna yang diubah dalam versi Yogyakarta. Seperti kita ketahui,
cerita Rama dibawa ke Indonesia oleh orang Hindu, secara fakta ada dua
perbedaan sumber cerita yang sudah diubah di tempat aslinya, India. Di sana, cerita ini dikenal dengan Ramayana versi Valmiki dan versi
populer. Kedua versi ini ditemukan saat perjalanan orang-orang Hindu saat di
Indonesia.
Keberadaan
cerita Ramayana boleh jadi memiliki
perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya
kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat persinggungan kebudayaan yang unik antara
India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan
dengan munculnya berbagai versi pada masa awal persebaran cerita Ramayana dari India ke berbagai daerah
di Asia hingga Nusantara. Kemunculan versi-versi yang berbeda dapat digunakan
untuk melihat persinggungan budaya antara India dan daerah-daerah lain
yang menggubah atau menyadur cerita Ramayana.
Saat
penyebaran cerita ini, terdapat kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat
antara agama Hindu di Asia dan di India. Persebaran cerita
Ramayana tentu tidak dapat dipisahkan
dengan agama Hindu dan Budha dari India ke berbagai daerah di Asia. Cerita Ramayana sendiri merupakan bagian dari
khazanah kesusastraan Hindu. Walaupun demikian, pendeta-pendeta Budha juga
menggunakan cerita Ramayana untuk
menyebarkan agama Budha ke berbagai daerah di Asia. Tentu saja, cerita Ramayana yang disebarkan oleh penganut
Hindu dan Budha memiliki perbedaan dan cerita tersebut disesuaikan untuk
kepentingan penyebaran agama itu sendiri.
Tidak
hanya pengaruh agama, saat
penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat
antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen
yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita
Ramayana. Ramayana
telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen
Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai
Hindu selalu terlihat di mana pun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di
Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli
negara itu. Jika nilai itu tidak bertentangan akan diambil, sedangkan jika
nilai itu bertentangan akan dibuang.
SUMBER:
Desai, Santosh N. 1970. “Ramayana-An
Instrument of Historical Contact and Cultural Transmission Between India and
Asia” The Journal of Asian Studies. Vol.
30, No. 1 (Nov., 1970), hlm. 5–20. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/2942721
pada 20/09/2011 05:16.
Tartuffe: Simbol Kemunafikan Manusia
Jika
kita berbicara mengenai Moliere, tentunya tidak terlepas dari karya-karyanya
yang sarat akan sindiran. Salah satu karyanya yang berjudul Tartuffe bahkan sampai dilarang untuk
dipentaskan karena dianggap menyinggung
kaunm gereja di Prancis.
Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk membahas mengenai naskah drama Tartuffe dari segi penokohan dan kaitannya dengan drama satire. Tokoh yang dibahas hanya tokoh utama saja, yaitu Tartuffe. Hal ini dipilih karena tokoh tersebut sangat menonjol dibandingkan tokoh lainnya. Ditambah lagi, pengunaan nama Tartuffe dipakai sebagai judul drama lima babak tersebut.
Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk membahas mengenai naskah drama Tartuffe dari segi penokohan dan kaitannya dengan drama satire. Tokoh yang dibahas hanya tokoh utama saja, yaitu Tartuffe. Hal ini dipilih karena tokoh tersebut sangat menonjol dibandingkan tokoh lainnya. Ditambah lagi, pengunaan nama Tartuffe dipakai sebagai judul drama lima babak tersebut.
Moliere melalui drama Tartuffe seakan mencoba keluar dari
konvensi drama yang berlaku pada zaman itu. Hal ini diperlihatkannya dengan tokoh
utama, Tartuffe, yang justru baru muncul pada pada babak ketiga. Meskipun
begitu, tokoh Tartuffe tetap menjadi tokoh utama karena selalu menjadi pusat
dan pokok pembicaraan. Hal ini diperkuat dengan percakapan tokoh-tokoh lain yang
memperdebatkan masalah kehadiran Tartuffe di keluarga Orgon sejak awal.
Sesuai dengan Teori Mimesis
yang dicetuskan oleh Plato bahwa sebuah karya sastra merupakan tiruan dan
bayangan dari hal-hal yang ada dalam kenyataan (Plato via Teeuw, 1984: 220).
Berdasarkan teori tersebut, dirumuskan
sebuah hipotesis bahwa tokoh Tartuffe yang terdapat dalam naskah drama
ini adalah sebuah representatif terhadap kaum gereja di Prancis yang pada masa
itu memegang peranan penting. Tartuffe bisa dikatakan sebagai satire sosial
yang ditujukan kepada kaum rohaniawan yang sangat berpengaruh di masa itu. Oleh
sebab itu, drama ini mendapat reaksi keras dari berbagai kelompok yang
tersinggung dari lakon tersebut. Bahkan drama Tartuffe sempat dilarang karena
dekrit Uskup Agung Paris yang menyatakan siapapun yang
menonton, memainkan, atau membaca naskah tersebut tidak akan diakui lagi
sebagai anggota jemaat.
Drama Tartuffe bercerita
tentang tokoh bernama Tartuffe yang merupakan seorang rohaniawan, namun sikap
dan sifatnya tidak mencerminkan rohaniawan sejati. Segala tingkah lakunya
mengindikasikan Tartuffe sebagai seorang yang munafik. Dengan keahliannya,
Tartuffe berhasil mengambil hati Orgon sehingga ia dapat tinggal di rumah
Orgon. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Orgon dengan Cleante yang
menunjukan ketertarikan Orgon terhadap Tartuffe.
Orgon : Ah! Coba kau lihat bagaimana aku dulu bertemu dengannya, maka
kau akan merasakan perasaan yang sama seperti aku untuknya. Setiap hari ia
datang ke gereja dengan wajah yang lembut, tepat di depanku di atas kedua
dengkulnya ia berlutut. Ia menarik perhatiaan seluruh jemaat karena gairahnya
dalam doa yang dilontarkannya kepada Tuhan; mendesah-desahlah ia, bergejolak
tangannya, dan sebentar-sebentar, ia mencium tanah dengan khidmat;
...
Kuberi Tartuffe sedekah; Namun dengan
sopan, ia selalu ingin mengembalikan sebagian. “Terlalu banyak”, katanya,
“separuh terlalu banyak. Mendapat belas kasihan Anda, aku tak layak.” Dan waktu
aku tak mau mengambilnya kembali, di depan mataku, ia limpahkan kelebihan
sedekahku pada orang miskin. Akhirnya atas panggilan Tuhan aku menampung dia di
rumahku.
…
(halaman 24)
Dari kutipan di atas, dapat di lihat bahwa Tartuffe
merupakan pengasuh rohani keluarga Orgon. Orgon selalu bertemu Tartuffe yang
sedang berdoa dengan khusuk sehingga ia tertarik dengan kepribadian Tartuffe.
Di matanya, Tartuffe terlihat alim dan dermawan meskipun di tengah kekurangan yang
dimilikinya.
Melalui percakapan antara
Dorine dan Mariane, diperoleh sedikit informasi mengenai deskripsi fisik
Tartuffe. Berikut ini adalah pendapat Dorine mengenai fisik Tartuffe, “ …
Tartuffe adalah bangsawan dan juga berperawakan bagus. Telinga merah dan cahaya
kulitnya segar bugar: Anda akan hidup amat sangat senang bersama suami seperti
dia. (halaman 55)”.
Tartuffe sebagai tokoh utama
dapat dikatakan sebagai tokoh yang dinamis. Kedinamisan tokoh ini dapat dilihat
dari perubahan sifatnya yang ketika berhadapan dengan Orgon. Seluruh keluarga
tidak percaya kepada Tartuffe dan hendak menyadarkan Orgon tentang kemunafikan
Tartuffe. Namun, kemampuan Tartuffe yang bermuka dua berhasil meyakinkan Orgon
sehingga Ia sangat peduli dengan keadaan Tartuffe. Hal ini terlihat dari
percakapan antara Dorine dengan Orgon ketika Orgon menanyakan keadaan rumah
sepeninggalanya selama beberapa hari.
Dorine :
Dua hari yang lalu, Nyonya terserang demam sampai petang, dengan sakit kepala yang
sulit dibayangkan.
Orgon : Dan Tartuffe?
Dorine : Tartuffe? Dia sehat
walafiat, gemuk, kulitnya segar dan mulutnya kemerah-merahan.
Orgon : Aduh kasihan!
Dorine :
Petang itu Nyonya tidak lapar dan tak dapat menyantap apapun pada saat makan
malam, sakit kepalanya masih begitu parah!
Orgon : Dan Tartuffe?
Dorine :
Dia makan seorang diri di hadapan Nyonya, dan dengan cara makannya yang alim
itu, ia makan dua ekor ayam hutan dan separuh paha kambing hitam
Orgon : Aduh kasihan!
Dorine :
Semalam suntuk, tak sesaat pun Nyonya dapat memejamkan mata; suhu badannya yang
panas mencegahnya bahkan untuk tidur-tidur ayam, dan sampai pagi kami terpaksa
berjaga di sisinya.
Orgon : Dan Tartuffe?
Dorine :
Terdorong oleh kantuk yang nikmat, Ia langung masuk kamar sesudah makan, dan ia
segera naik ke atas ranjangnya yang enak dan hangat, dan tidur sampai esok
harinya tanpa gangguan.
Orgon : Aduh kasihan!
(Halaman 19-21)
Dari kutipan di atas
terlihat perhatian Orgon yang kelewat batas terhadap Tartuffe. Bahkan ketika
istrinya, Nyonya Elmire, sakit, terlihat Orgon justru lebih peduli dengan
keadaan Tartuffe. Dari kutipan di atas pula, tersurat bahwa Tartuffe adalah
orang yang rakus. Ia makan banyak tanpa mempedulikan Nyonya Elmire yang sedang
menderita sakit di dekatnya. Padahal menurut Agama Kristen, sifat rakus
merupakan salah satu dari dosa yang mendasar. Sikapnya ini tentunya bertolak
belakang dengan sikap yang seharusnya ditunjukan oleh seorang rohaniawan.
Segala keburukan sikap
Tartuffe ditutupinya dengan keahliannya dalam bersilat lidah. Selain itu, dia
selalu menunjukan kerendahan hati untuk mendapat simpati Orgon. Berikut ini
adalah kutipan percakapan antara Tartuffe dengan Orgon yang menunjukan
kelihaian Tartuffe dalam mempengaruhi orang lain untuk memperoleh keinginannya.
Tartuffe : Sudahlah; jangan
kita bicarakan lagi. Tapi aku tahu bagaimana aku harus bertindak dalam hal ini.
Kehormatanku itu mudah tersinggung, dan persahabatan mendorongku untuk mencegah
desas-desus dan hal-hal menjengkelkan itu: Aku akan menghindari isteri Anda dan
Anda tidak akan melihatku…
Orgon : Jangan, biar bagaimanapun, Anda harus tetap mengunjungi
istriku. Membuat orang jengkel adalah kesenanganku yang paling besar, dan aku
mau Anda setiap saat kelihatan bersamanya. Itu belum apa-apa: untuk lebih
menentang mereka semua, aku tidak mau me4mpunyai pewaris lain selain Anda, dan
segera, dengan cara halus, aku akan menghadiahkan seluruh harta bendaku kepada
Anda. Seorang teman yang baik dan juur yang kuambil sebagai menantu, lebih
berarti bagiku daripada seorang putra, istri, atau kerabat, Anda mau menerima
apa yang kutawarkan bukan?
(Halaman 105-106)
Sifat munafik yang terdapat
dalam tokoh Tartuffe dipertegas dengan sikapnya yang tamak. Kutipan di atas
memperlihatkan bahwa Tartuffe sangat lihai mengambil hati Orgon sehingga Orgon
mau melakukan apa saja demi Tartuffe. Dia bahkan mengusir putra kandungnya
untuk membela Tartuffe. Tidak hanya itu, secara sadar Orgon memberikan
kekayaannya kepada Tartuffe dan menjodohkan Tartuffe dengan putrinya, Mariane.
Di sisi lain, ternyata Tartuffe menaruh hati pada Elmire, isri Orgon. Hal ini
tampak pada kutipan berikut ketika Tartuffe sedang merayu Elmire.
Tartuffe : … akhirnya aku
menyadari, wahai juwita yang penuh dengan cinta, bahwa nafsu birahi ini bisa
saja bukan hal yang tercela; bahwa dengan sopan aku dapat menyesuaikannya dan
itulah yang menyebabkan aku membiarkan hatiku memperturutkan nafsu birahi itu.
Bagiku, kuakui, adalah kenekatan yang sangat besar berani mepersembahkan kepada
Anda hati ini;
namun dalam permohonanku ini
kuharapkan segalanya dari kebaikan anda, dan tak ada usaha sia-sia dari
kelemahanku. Dalam diri Anda terletak harapanku, kebaikanku, kedamaian hatiku:
duka citaku atau kebahagiaanku yang sempurna tergantung dari Anda: dan akhirnya
berkat putusan Anda semata, aku akan, berbahagia jika Anda mau, sengsara jika
Anda suka.
( Halaman 86)
Percakapan antara Tartuffe dengan Elmire di atas
menunjukan dengan jelas bahwa Tartuffe mencintai istri Orgon. Ia bahkan merayu
Elmire untuk mengkhianati suaminya dengan berselingkuh dengannya. Kelemahan
Tartuffe inilah yang dimanfaatkan Elmire untuk menunjukan kemunafikan Tartuffe
dan menyadarkan Orgon tentang Tartuffe yang sebenarnya.
Drama Tartuffe seakan menampilkan
realita kehidupan yang ada di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, banyak orang
munafik di kehidupan. Namun, bukan berarti ketika drama Tartuffe yang
menceritakan seseorang rohaniawan yang munafik lalu kita dengan seenaknya
menghakimi setiap rohaniawan adalah orang munafik. Saya sendiri
menginterprestasikan naskah drama ini sebagai cermin untuk mengintropeksi diri.
Jika dalam Tartuffe ini diceritakan kemunafikan dari seorang yang dikenal alim,
apalagi dengan diri kita. Karena sesungguhnya, tidak ada ukuran yang pasti
dalam menentukan kemunafikan.
Sumber :
Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra: pengantar memahami sastra
untuk perguruaan tinggi. Magelang: IndonesiaTera,
Moliere. 2008. Tartuffe.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar
Teori Sastra.. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Ditulis tanpa kemunafikan, Vini Anisya Nofiani
Ditulis tanpa kemunafikan, Vini Anisya Nofiani
Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah
Bahasa adalah gudang ilmu pengetahuan yang di dalamnya memuat keseluruhan
sejarah umat manusia. Ketika sebuah bahasa punah, pengetahuan yang terdapat di
dalamnya akan ikut punah. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa,
kaum tersebut akan kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Oleh
karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kepunahan bahasa sama
dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan.
Terkait dengan isu kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, tulisan ini akan memaparkan tiga hal penting, antara lain (1) fakta-fakta terkait
dengan ancaman kepunahan bahasa, (2) penyebab utama dan pendorong kepunahan
bahasa, dan (3) usaha pencegahaan kepunahan bahasa.
Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, terdapat 742 bahasa
daerah. Namun, hanya 13 bahasa yang memiliki penutur di atas satu juta. Tiga
belas bahasa itu adalah bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang,
Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Sasak (Kompas, 14
November 2007). Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur
menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, semakin kuat ketahanan bahasa itu.
Dengan demikian, semakin jauh bahasa tersebut dari kepunahan.
Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar ”Empowering Local
Language Through ICT” yang diadakan Departemen Komunikasi dan Informatika,
Senin (11/8/2008) di Jakarta, mengungkapkan dari 729 bahasa daerah yang
penuturnya kurang dari satu juta orang, sekitar 169 bahasa terancam punah
karena berpenutur kurang dari 500 orang. Bahasa yang terancam punah tersebut
tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Bahasa
Lom (Sumatera), misalnya, hanya berpenutur 50 orang. Di Sulawesi bahasa
Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, dan Baras
250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Kareho Uheng 200 penutur,
dan Punan Merah 137 penutur. Di Maluku,
bahasa Hukumina 1 penutur, Kayeli 3 penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10
penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua, bahasa
Mapia 1 penutur, Tandia 2 penutur, Bonerif 4 penutur, dan bahasa Saponi 10
penutur.
Fakta kepunahan bahasa seperti tersebut di atas cukup mencengangkan,
Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur
bahasa daerah yang sangat sedikit. Apabila kita tilik lebih dalam, kita dapat
melihat bahwa bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut banyak terdapat di
Indonesia Timur. Hal tersebut dikarenakan diversitas bahasa di Indonesia timur
lebih kaya. Jika kita lihat di pulau Jawa hanya terdapat tiga bahasa terbesar,
Jawa, Sunda, dan Madura, yang memiliki banyak dialek. Berbeda dengan Indonesia
Timur yang memang memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda.
Penyebab Kepunahan Bahasa
UNESCO mengatakan: When a language
dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends,
poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika
sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah
besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi
akan ikut punah.
Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10)
mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua
tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara
aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebagai contoh
adalah orangtua keturunan Sumatra yang kita sebut saja memakai bahasa A. Karena
pergeseran penggunaan bahasa A, orang tua tersebut mendidik anak-anaknya untuk
memakai bahasa Indonesia dalam keluarganya. Didikan seperti itu sangat dianjurkan. Namun,
bahasa daerah kita sendiri jangan ditinggalkan, budaya berbahasa kita sendiri
juga harus mengerti dan fasih. Gerak ke arah kepunahan
akan menjadi lebih cepat apabila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam
ranah sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaan pengunaan bahasa dalam
sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.
Sedangkan Landweer (dalam Ibrahim, 2008: 11) mengemukakan sebab lain punahnya
suatu bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari
pilihan penggunaan bahasa sebagian besar
masyarakat tuturnya. Seringkali
terjadi diskrimitatif, bahwa orang yang berbahasa daerah adalah orang-orang
kampungan. Karena itu, orang lebih memilih untuk tidak memakai bahasa daerah. Hal ini terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa masyarakat
tuturnya. Jika orang tua tidak memilih untuk memakai bahasa daerah di samping
bahasa Indonesia kepada keturunananya, maka pergerakan bahasa ke arah kepunahan
akan semakin cepat.
Di luar soal pemertahanan bahasa terdapat berbagai hal penting yang
mendorong percepatan kepunahan suatu bahasa. Hal tersebut adalah bahasa daerah
yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak memiliki
tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang, jika tidak segera
didokumentasikan, akan sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Ditambah
lagi, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang
berstatus bahasa nasional.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang turut mempercepat kepunahan
suatu bahasa. Summer Institute of linguistics (SIL) mengemukakan setidaknya
terdapat 12 faktor: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3)
digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) pengunaan
bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan
identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum
muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9)
intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, (12)
kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula
tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara
berdampingan (Ibrahim 2008:10). Dua belas faktor tersebut sangat berpengaruh
terhadap upaya pencegahan punahnya suatu bahasa. Dengan melihat pada
faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa sehingga kita dapat mempelajari
dan melakukan usaha agar kepunahan bahasa dapat dicegah.
Gejala-gejala Kepunahan
Bahasa
Salah satu keadaan yang memperlihatkan gejala-gejala kepunahan bahasa
adalah penurunan secara drastis jumlah penutur aktif. Seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat kita
lihat beberapa bahasa yang memiliki penutur tidak lebih dari lima orang. Kita
ambil contoh bahasa Hukumina di Maluku yang hanya memiliki satu orang penutur.
Apabila satu orang penutur tersebut meninggal, tidak hanya jasadnya saja yang
terkubur, pengetahuan tentang bahasa terkait akan ikut terkubur dan bahasa
Hukumina tersebut akan punah.
Keadaan lain yang tidak kalah
memprihatinkan adalah pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia
muda. Dewasa ini, generasi muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah
mereka masing-masing. Kebanyakan hanya menguasai secara pasif. Generasi muda
tersebut mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi tidak dapat berbicara
dengan bahasa tersebut. Lebih dari itu, beberapa bahkan tidak peduli dengan
bahasa daerah dan enggan menggunakannya. Hal tersebut disebabkan oleh generasi
muda sekarang lebih menyukai memakai bahasa asing dan bahasa nasional, bahasa
Indonesia, dibandingkan bahasa daerah. Jika keadaan seperti ini terus
berlanjut, bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang akan semakin banyak
bahasa daerah yang pada akhirnya punah terkikis zaman.
Usaha Pencegahan Kepunahan Bahasa
Bahasa adalah penciri utama suatu
budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya lainnya. Tradisi yang
diekspresikan dengan tindakan nyata antara bangsa yang satu dengan bangsa yang
lain boleh saja sama, tetapi ketika kita mendengar “bahasa” yang terucap, akan
segera tampak perbedaannya. “Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian kata sebuah
pepatah.
Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti
etnosentris. Sebagai Warga Negara Indonesia, kita diharapkan untuk dapat
memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bukan berarti kita
melupakan bahasa daerah. Pemilihan pemakaian antara pemakaian bahasa Indonesia
dengan pemakaian bahasa daerah dapat
disesuaikan dengan konteks yang ada. Dengan demikian, bahasa daerah dapat tetap
sejalan dengan bahasa Indonesia serta dapat menjaga kelangsungan bahasa daerah
dari kepunahan. Untuk mempertahankan keberlangsungan
bahasa daerah tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak.
Diperlukan kemauan dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk
mempertahankan bahasa yang terancam punah.
Usaha yang dapat diupayakan untuk mencegah kepunahan bahasa antara lain
dengan mengolah bahasa daerah yang terancam punah menjadi buku dan mulai
diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal
sehingga dikenal generasi muda. Selain itu, bahasa daerah juga dapat
dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama
kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama
lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah
nama dalam bahasa Indonesia. Menghidupkan bahasa daerah tentu saja tidak hanya
sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan
nama jalan raya, tetapi dengan tindakan
yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.
Pemerintah sendiri telah menunjukan keberpihakannya dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian,
Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Selain itu, Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan membuat bidang khusus
untuk perlindungan bahasa Indonesia dan daerah. Perlindungan itu akan lebih
mengarah kepada bahasa daerah dan sastra lisan yang hampir punah. Ada dua
langkah yang akan diterapkan Pusat Bahasa untuk perlindungan, yaitu dokumentasi
dan revitalisasi. dokumentasi
berbentuk pengumpulan kosa kata dan merekamnya, kemudian revitalisasi untuk
menghidupkan kembali dengan cara mengadakan berbagai pagelaran festival seni.
Penutup
Fakta kepunahan bahasa cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah
bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat
sedikit. Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh bahasa
daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung tidak memiliki tulisan dan
berkurangnya pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah. Selain itu, adanya tuntutan
bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa
nasional.
Untuk mencegahan kepunahan bahasa tidak hanya sekedar membuat kurikulum
mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya,
melainkan dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya
sebagai bahasa
tutur aktif.
Referensi
Anonim. 2008. “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”. Kompas, 12
Agustus 2008.
Agustus 2008.
Ibrahim,
Gamil. “Bahasa daerah Lampung Terancam Punah”.
http://gamil-opinion.blogspot.com (20 Februari 2010)
Ibrahim,
Gufran Ali. "Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan
Strategi Perawatannya". Makalah yang disampaikan pada Kongres
Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.
Karzi, Udo Z. ”Bahasa Daerah Terancam Punah”. http://ulun.lampunggech.com/2007/11/humaniora-726-bahasa-daerah-terancam.html
(20 Februari 2010)
Masinambow. “Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah”. Jakarta. 1976
-Oleh: Anisya Nofiani
-Oleh: Anisya Nofiani
Langganan:
Postingan (Atom)