Minggu, 18 Maret 2012

kue kembang goyang

Hari ini aku coba bikin kue kembang goyang dan alhamdulilah berhasil. yeaaaaah! Nah, ini resepnya:

Bahan:
1. tepung beras 250 gram
2. gula halus 1 sendok makan
3. tepung sagu 1 sendok makan
4. telur satu butir
5. vanili 1/4 sendok teh
6. santan 250 ml
7. minyak goreng

Cara membuat:
1. Campurkan tepung beras, gula halus, sagu, telur dan vanili. Aduk merata.
2. Tambahkan santan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk hingga adonan tidak ada lagi gerenjel-gerenjelnya.
3. panaskan minyak dan panaskan cetakan kembang goyang.
4. celupkan cetakan ke dalam adonan. Perlu diingat, bagian atas cetakan tidak boleh tertutup adonan. lalu masukkan ke dalam minyak, balik-balik hingga berwarna coklat keemasan. angkat
5. lakukan poin 4 berulang kali hingga adonan habis.
6.  simpan di dalam toples

Sekian resep dari aku. selamat mencoba :D




 TIPS:
> Cetakan kembang goyang harus panas, jika tidak adonan tidak akan menempel.
> Bagian atas cetakan jangan tertutup nanti adonan tidak mau terlepas
> kembang goyang yang disimpan dengan baik dapat bertahan hingga 3-4 bulan loh.

Sabtu, 17 Maret 2012

Pengaruh Cerita Ramayana Terhadap Masyarakat Asia


Pengaruh Cerita Ramayana Terhadap Masyarakat Asia


            Kita tentu pernah mendengar atau mengetahui cerita Ramayana. Cerita ini berisi petualangan Rama untuk merebut kembali istrinya, Sinta, yang dipaksa untuk menjadi istri Rahwana. Dari peristiwa tersebut, untuk mendapatkan Sinta kembali, terjadilah perang besar untuk menghancurkan raja Rahwana. Cerita petualangan Rama itu diadaptasi dari cerita Indian Ramayana oleh Valmiki. Cerita ini sangat populer di wilayah Asia sehingga sering kali digubah dan menghasilkan berbagai versi cerita Rama. Pada tulisan ini akan membahas sejarah keberadaan cerita Ramayana dan Mahabarata di Asia, khususnya di Indonesia.. Selain itu, akan dilihat persebaran cerita ini dan pengaruhnya bagi masyarakat Asia
            Cerita Ramayana berasal dari India. Cerita ini telah menempuh perjalanan dari India ke Asia sejak permulaan abad di zaman Kristen. Ramayana memencar melalui tiga rute: melalui darat, rute utara membawa cerita dari Punjab dan Kashmir ke Cina, Tibet, dan Turki Timur; melalui laut, rute selatan membawa cerita dari Gujarat dan India Selatan ke Jawa, Sumatra dan Malaysia; dan melalui darat pula, rute timur membawa cerita dari Bengal ke Burma, Thailand dan Laos. Vietnam dan Kamboja memeroleh sebagian cerita dari Jawa dan sebagian dari India melalui rute timur.
            Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa cerita Ramayana menyebar dari India ke seluruh Asia, yaitu di China, Tibet, Turki Timur, Vietnam, Jawa, Malaysia, Kamboja, Thailand, Laos, dan Burma. Dilihat dari isi dan kualitasnya, cerita-cerita tersebut dibagi menjadi dua, yaitu, cerita berdasarkan versi Valmiki, dan cerita bukan versi Valmiki. Cerita berdasarkan versi Valmiki berada di China, Tibet, Vietnam, Jawa, Kamboja, Laos, dan Thailand. Sedangkan cerita berdasarkan versi bukan Valmiki berada di Turki Timur, Malaysia, Burma. Cerita berdasarkan versi bukan Valmiki ini mengenalkan karakter baru, episode baru, dan tahapan baru. Kehadiran Valmiki di Asia membuka kontak antara Asia dan Hindu Asia Utara, tempat Valmiki Ramayana dibuat.
            Sebagian negara di Asia, kecuali China, menunjukkan mengenai pilihan mereka tentang cerita versi bukan Valmiki dan mencampurkannya dengan kesenian mereka, tarian, dan drama. Di Vietnam misalnya, Cerita Ramayana di Vietnam berkembang pada masa kerajaan Champa yaitu pada abad ke-7 M. Cerita Ramayana digubah menurut lokalitas kerajaan Champa. Kerajaan Champa dideskripsikan sebagai kerajaan Alenka dan kerajaan Annam sebagai kerajaan Dasarata. Dengan kata lain, cerita Ramayana yang tersebar di Asia disesuaikan dengan kebudayaan serta kearifan lokal setempat. .
Cerita Ramayana di Indonesia sendiri berkembang pada abad ke-9 M hingga masa kerajaan Majapahit. Cerita itu diketahui sejak Jawa Kuno di dalam puisi lama dan dalam ukiran dua candi, salah satunya Candi Prambanan di Jawa Tengah, yang dibangun sekitar abad ke-9, dan yang lainnya adalah Candi Panataran di Jawa Timur beberapa Masehi setelahnya. Banyak bagian penting di episode ini yang dipahat di batu bangunan candi tersebut. Cerita Ramayana berkembang pesat pada masa Majapahit. Umumnya pokok cerita di seluruh wilayah Indonesia sama. Namun, terkadang ditemukan perbedaan besar dalam variasi cerita, terutama dalam hal hubungan antar pelaku.
Terdapat tiga varian cerita Ramayana di Indonesia, yaitu Kakawin Ramayana, Carit Ramayana, dan  Serat Kanda. Kakawin Ramayana tidak mengikutsertakan bagian pertama dan terakhir buku Valmiki. Akan tetapi, secara keseluruhan Kakawin Ramayana mengikuti versi Valmiki. Dalam Carit Ramayana memasukkan bagian terakhir buku Valmiki. Dalam cerita ini juga diceritakan asal mula Rahwana. Di Serat Kanda, kisah Ramayana diadaptasi oleh kaum muslim di Jawa. Kisau ini memiliki kemiripan dengan kisah Adam dari Mekah. Di Semenanjung Malaya dan Sumatra terdapat cerita Ramayana  yaitu Hikayat Sri Rama. Cerita ini memiliki kesamaan dengan Serat Kanda.
Ada beberapa pertimbangan mengapa cerita asli diubah “keasliannya”. Itu merupakan persetujuan perubahan “Serat Rama” yang dikenal di seluruh Jawa, atau Ramayana dalam Jawa Kuna yang diubah dalam versi Yogyakarta. Seperti kita ketahui, cerita Rama dibawa ke Indonesia oleh orang Hindu, secara fakta ada dua perbedaan sumber cerita yang sudah diubah di tempat aslinya, India. Di sana, cerita ini dikenal dengan Ramayana versi Valmiki dan versi populer. Kedua versi ini ditemukan saat perjalanan orang-orang Hindu saat di Indonesia.
            Keberadaan cerita Ramayana boleh jadi memiliki perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat  persinggungan kebudayaan yang unik antara India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai versi pada masa awal persebaran cerita Ramayana dari India ke berbagai daerah di Asia hingga Nusantara. Kemunculan versi-versi yang berbeda dapat digunakan untuk melihat persinggungan budaya antara India dan daerah-daerah lain yang  menggubah atau menyadur cerita Ramayana.
            Saat penyebaran cerita ini, terdapat kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Persebaran cerita Ramayana tentu tidak dapat dipisahkan dengan agama Hindu dan Budha dari India ke berbagai daerah di Asia. Cerita Ramayana sendiri merupakan bagian dari khazanah kesusastraan Hindu. Walaupun demikian, pendeta-pendeta Budha juga menggunakan cerita Ramayana untuk menyebarkan agama Budha ke berbagai daerah di Asia. Tentu saja, cerita Ramayana yang disebarkan oleh penganut Hindu dan Budha memiliki perbedaan dan cerita tersebut disesuaikan untuk kepentingan penyebaran agama itu sendiri.
            Tidak hanya pengaruh agama, saat penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita Ramayana. Ramayana telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai Hindu selalu terlihat di mana pun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli negara itu. Jika nilai itu tidak bertentangan akan diambil, sedangkan jika nilai itu bertentangan akan dibuang.


SUMBER:
Desai, Santosh N. 1970.Ramayana-An Instrument of Historical Contact and Cultural Transmission Between India and Asia” The Journal of Asian Studies. Vol. 30, No. 1 (Nov., 1970), hlm. 5–20. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/2942721 pada 20/09/2011 05:16.

Tartuffe: Simbol Kemunafikan Manusia



            Jika kita berbicara mengenai Moliere, tentunya tidak terlepas dari karya-karyanya yang sarat akan sindiran. Salah satu karyanya yang berjudul Tartuffe bahkan sampai dilarang untuk dipentaskan karena dianggap menyinggung  kaunm gereja di Prancis.

Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk membahas mengenai naskah drama Tartuffe dari segi penokohan dan kaitannya dengan drama satire.  Tokoh yang dibahas hanya tokoh utama saja, yaitu Tartuffe. Hal ini dipilih karena tokoh tersebut sangat menonjol dibandingkan tokoh lainnya. Ditambah lagi, pengunaan nama Tartuffe dipakai sebagai judul drama lima babak tersebut.
Moliere melalui drama Tartuffe seakan mencoba keluar dari konvensi drama yang berlaku pada zaman itu. Hal ini diperlihatkannya dengan tokoh utama, Tartuffe, yang justru baru muncul pada pada babak ketiga. Meskipun begitu, tokoh Tartuffe tetap menjadi tokoh utama karena selalu menjadi pusat dan pokok pembicaraan. Hal ini diperkuat dengan percakapan tokoh-tokoh lain yang memperdebatkan masalah kehadiran Tartuffe di keluarga Orgon sejak awal.
Sesuai dengan Teori Mimesis yang dicetuskan oleh Plato bahwa sebuah karya sastra merupakan tiruan dan bayangan dari hal-hal yang ada dalam kenyataan (Plato via Teeuw, 1984: 220). Berdasarkan teori tersebut, dirumuskan  sebuah hipotesis bahwa tokoh Tartuffe yang terdapat dalam naskah drama ini adalah sebuah representatif terhadap kaum gereja di Prancis yang pada masa itu memegang peranan penting. Tartuffe bisa dikatakan sebagai satire sosial yang ditujukan kepada kaum rohaniawan yang sangat berpengaruh di masa itu. Oleh sebab itu, drama ini mendapat reaksi keras dari berbagai kelompok yang tersinggung dari lakon tersebut. Bahkan drama Tartuffe sempat dilarang karena dekrit Uskup Agung Paris yang menyatakan siapapun yang menonton, memainkan, atau membaca naskah tersebut tidak akan diakui lagi sebagai anggota jemaat.
Drama Tartuffe bercerita tentang tokoh bernama Tartuffe yang merupakan seorang rohaniawan, namun sikap dan sifatnya tidak mencerminkan rohaniawan sejati. Segala tingkah lakunya mengindikasikan Tartuffe sebagai seorang yang munafik. Dengan keahliannya, Tartuffe berhasil mengambil hati Orgon sehingga ia dapat tinggal di rumah Orgon. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Orgon dengan Cleante yang menunjukan ketertarikan Orgon terhadap Tartuffe.
Orgon     : Ah! Coba kau lihat bagaimana aku dulu bertemu dengannya, maka kau akan merasakan perasaan yang sama seperti aku untuknya. Setiap hari ia datang ke gereja dengan wajah yang lembut, tepat di depanku di atas kedua dengkulnya ia berlutut. Ia menarik perhatiaan seluruh jemaat karena gairahnya dalam doa yang dilontarkannya kepada Tuhan; mendesah-desahlah ia, bergejolak tangannya, dan sebentar-sebentar, ia mencium tanah dengan khidmat;
...
Kuberi Tartuffe sedekah; Namun dengan sopan, ia selalu ingin mengembalikan sebagian. “Terlalu banyak”, katanya, “separuh terlalu banyak. Mendapat belas kasihan Anda, aku tak layak.” Dan waktu aku tak mau mengambilnya kembali, di depan mataku, ia limpahkan kelebihan sedekahku pada orang miskin. Akhirnya atas panggilan Tuhan aku menampung dia di rumahku.
  
 (halaman 24)
Dari kutipan di atas, dapat di lihat bahwa Tartuffe merupakan pengasuh rohani keluarga Orgon. Orgon selalu bertemu Tartuffe yang sedang berdoa dengan khusuk sehingga ia tertarik dengan kepribadian Tartuffe. Di matanya, Tartuffe terlihat alim dan dermawan meskipun di tengah kekurangan yang dimilikinya.
Melalui percakapan antara Dorine dan Mariane, diperoleh sedikit informasi mengenai deskripsi fisik Tartuffe. Berikut ini adalah pendapat Dorine mengenai fisik Tartuffe, “ … Tartuffe adalah bangsawan dan juga berperawakan bagus. Telinga merah dan cahaya kulitnya segar bugar: Anda akan hidup amat sangat senang bersama suami seperti dia.  (halaman 55)”.
Tartuffe sebagai tokoh utama dapat dikatakan sebagai tokoh yang dinamis. Kedinamisan tokoh ini dapat dilihat dari perubahan sifatnya yang ketika berhadapan dengan Orgon. Seluruh keluarga tidak percaya kepada Tartuffe dan hendak menyadarkan Orgon tentang kemunafikan Tartuffe. Namun, kemampuan Tartuffe yang bermuka dua berhasil meyakinkan Orgon sehingga Ia sangat peduli dengan keadaan Tartuffe. Hal ini terlihat dari percakapan antara Dorine dengan Orgon ketika Orgon menanyakan keadaan rumah sepeninggalanya selama beberapa hari.
Dorine    : Dua hari yang lalu, Nyonya terserang demam sampai petang, dengan sakit kepala yang sulit dibayangkan.
Orgon     : Dan Tartuffe?
Dorine    : Tartuffe? Dia sehat walafiat, gemuk, kulitnya segar dan mulutnya kemerah-merahan.
Orgon     : Aduh kasihan!
Dorine    : Petang itu Nyonya tidak lapar dan tak dapat menyantap apapun pada saat makan malam, sakit kepalanya masih begitu parah!
Orgon     : Dan Tartuffe?
Dorine    : Dia makan seorang diri di hadapan Nyonya, dan dengan cara makannya yang alim itu, ia makan dua ekor ayam hutan dan separuh paha kambing hitam
Orgon     : Aduh kasihan!
Dorine    : Semalam suntuk, tak sesaat pun Nyonya dapat memejamkan mata; suhu badannya yang panas mencegahnya bahkan untuk tidur-tidur ayam, dan sampai pagi kami terpaksa berjaga di sisinya.
Orgon     : Dan Tartuffe?
Dorine    : Terdorong oleh kantuk yang nikmat, Ia langung masuk kamar sesudah makan, dan ia segera naik ke atas ranjangnya yang enak dan hangat, dan tidur sampai esok harinya tanpa gangguan.
Orgon     : Aduh kasihan!
(Halaman 19-21)
Dari kutipan di atas terlihat perhatian Orgon yang kelewat batas terhadap Tartuffe. Bahkan ketika istrinya, Nyonya Elmire, sakit, terlihat Orgon justru lebih peduli dengan keadaan Tartuffe. Dari kutipan di atas pula, tersurat bahwa Tartuffe adalah orang yang rakus. Ia makan banyak tanpa mempedulikan Nyonya Elmire yang sedang menderita sakit di dekatnya. Padahal menurut Agama Kristen, sifat rakus merupakan salah satu dari dosa yang mendasar. Sikapnya ini tentunya bertolak belakang dengan sikap yang seharusnya ditunjukan oleh seorang rohaniawan.
Segala keburukan sikap Tartuffe ditutupinya dengan keahliannya dalam bersilat lidah. Selain itu, dia selalu menunjukan kerendahan hati untuk mendapat simpati Orgon. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Tartuffe dengan Orgon yang menunjukan kelihaian Tartuffe dalam mempengaruhi orang lain untuk memperoleh keinginannya.
Tartuffe : Sudahlah; jangan kita bicarakan lagi. Tapi aku tahu bagaimana aku harus bertindak dalam hal ini. Kehormatanku itu mudah tersinggung, dan persahabatan mendorongku untuk mencegah desas-desus dan hal-hal menjengkelkan itu: Aku akan menghindari isteri Anda dan Anda tidak akan melihatku…
Orgon     : Jangan, biar bagaimanapun, Anda harus tetap mengunjungi istriku. Membuat orang jengkel adalah kesenanganku yang paling besar, dan aku mau Anda setiap saat kelihatan bersamanya. Itu belum apa-apa: untuk lebih menentang mereka semua, aku tidak mau me4mpunyai pewaris lain selain Anda, dan segera, dengan cara halus, aku akan menghadiahkan seluruh harta bendaku kepada Anda. Seorang teman yang baik dan juur yang kuambil sebagai menantu, lebih berarti bagiku daripada seorang putra, istri, atau kerabat, Anda mau menerima apa yang kutawarkan bukan?
(Halaman 105-106)
Sifat munafik yang terdapat dalam tokoh Tartuffe dipertegas dengan sikapnya yang tamak. Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Tartuffe sangat lihai mengambil hati Orgon sehingga Orgon mau melakukan apa saja demi Tartuffe. Dia bahkan mengusir putra kandungnya untuk membela Tartuffe. Tidak hanya itu, secara sadar Orgon memberikan kekayaannya kepada Tartuffe dan menjodohkan Tartuffe dengan putrinya, Mariane. Di sisi lain, ternyata Tartuffe menaruh hati pada Elmire, isri Orgon. Hal ini tampak pada kutipan berikut ketika Tartuffe sedang merayu Elmire.
Tartuffe : … akhirnya aku menyadari, wahai juwita yang penuh dengan cinta, bahwa nafsu birahi ini bisa saja bukan hal yang tercela; bahwa dengan sopan aku dapat menyesuaikannya dan itulah yang menyebabkan aku membiarkan hatiku memperturutkan nafsu birahi itu. Bagiku, kuakui, adalah kenekatan yang sangat besar berani mepersembahkan kepada Anda hati ini;
namun dalam permohonanku ini kuharapkan segalanya dari kebaikan anda, dan tak ada usaha sia-sia dari kelemahanku. Dalam diri Anda terletak harapanku, kebaikanku, kedamaian hatiku: duka citaku atau kebahagiaanku yang sempurna tergantung dari Anda: dan akhirnya berkat putusan Anda semata, aku akan, berbahagia jika Anda mau, sengsara jika Anda suka.
( Halaman 86)
Percakapan antara Tartuffe dengan Elmire di atas menunjukan dengan jelas bahwa Tartuffe mencintai istri Orgon. Ia bahkan merayu Elmire untuk mengkhianati suaminya dengan berselingkuh dengannya. Kelemahan Tartuffe inilah yang dimanfaatkan Elmire untuk menunjukan kemunafikan Tartuffe dan menyadarkan Orgon tentang Tartuffe yang sebenarnya.
            Drama Tartuffe seakan menampilkan realita kehidupan yang ada di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, banyak orang munafik di kehidupan. Namun, bukan berarti ketika drama Tartuffe yang menceritakan seseorang rohaniawan yang munafik lalu kita dengan seenaknya menghakimi setiap rohaniawan adalah orang munafik. Saya sendiri menginterprestasikan naskah drama ini sebagai cermin untuk mengintropeksi diri. Jika dalam Tartuffe ini diceritakan kemunafikan dari seorang yang dikenal alim, apalagi dengan diri kita. Karena sesungguhnya, tidak ada ukuran yang pasti dalam menentukan kemunafikan.
Sumber           :
Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra: pengantar memahami sastra untuk perguruaan tinggi. Magelang: IndonesiaTera,
Moliere. 2008. Tartuffe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra.. Jakarta: Grasindo
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.


Ditulis tanpa kemunafikan, Vini Anisya Nofiani

Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah



 
Bahasa adalah gudang ilmu pengetahuan yang di dalamnya memuat keseluruhan sejarah umat manusia. Ketika sebuah bahasa punah, pengetahuan yang terdapat di dalamnya akan ikut punah. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa, kaum tersebut akan kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan.
Terkait dengan isu kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, tulisan ini akan memaparkan tiga hal penting, antara lain (1) fakta-fakta terkait dengan ancaman kepunahan bahasa, (2) penyebab utama dan pendorong kepunahan bahasa, dan (3) usaha pencegahaan kepunahan bahasa.
Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, terdapat 742 bahasa daerah. Namun, hanya 13 bahasa yang memiliki penutur di atas satu juta. Tiga belas bahasa itu adalah bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Sasak (Kompas, 14 November 2007). Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, semakin kuat ketahanan bahasa itu. Dengan demikian, semakin jauh bahasa tersebut dari kepunahan.
Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar ”Empowering Local Language Through ICT” yang diadakan Departemen Komunikasi dan Informatika, Senin (11/8/2008) di Jakarta, mengungkapkan dari 729 bahasa daerah yang penuturnya kurang dari satu juta orang, sekitar 169 bahasa terancam punah karena berpenutur kurang dari 500 orang. Bahasa yang terancam punah tersebut tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Bahasa Lom (Sumatera), misalnya, hanya berpenutur 50 orang. Di Sulawesi bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, dan Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Kareho Uheng 200 penutur, dan  Punan Merah 137 penutur. Di Maluku, bahasa Hukumina 1 penutur, Kayeli 3 penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua, bahasa Mapia 1 penutur, Tandia 2 penutur, Bonerif 4 penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.
Fakta kepunahan bahasa seperti tersebut di atas cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat sedikit. Apabila kita tilik lebih dalam, kita dapat melihat bahwa bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut banyak terdapat di Indonesia Timur. Hal tersebut dikarenakan diversitas bahasa di Indonesia timur lebih kaya. Jika kita lihat di pulau Jawa hanya terdapat tiga bahasa terbesar, Jawa, Sunda, dan Madura, yang memiliki banyak dialek. Berbeda dengan Indonesia Timur yang memang memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda.

Penyebab Kepunahan Bahasa
            UNESCO mengatakan: When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.
            Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10) mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebagai contoh adalah orangtua keturunan Sumatra yang kita sebut saja memakai bahasa A. Karena pergeseran penggunaan bahasa A, orang tua tersebut mendidik anak-anaknya untuk memakai bahasa Indonesia dalam keluarganya. Didikan seperti itu sangat dianjurkan. Namun, bahasa daerah kita sendiri jangan ditinggalkan, budaya berbahasa kita sendiri juga harus mengerti dan fasih. Gerak ke arah kepunahan akan menjadi lebih cepat apabila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam ranah sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaan pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.
Sedangkan Landweer (dalam Ibrahim, 2008: 11) mengemukakan sebab lain punahnya suatu bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan bahasa  sebagian besar masyarakat tuturnya. Seringkali terjadi diskrimitatif, bahwa orang yang berbahasa daerah adalah orang-orang kampungan. Karena itu, orang lebih memilih untuk tidak memakai bahasa daerah. Hal ini terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa masyarakat tuturnya. Jika orang tua tidak memilih untuk memakai bahasa daerah di samping bahasa Indonesia kepada keturunananya, maka pergerakan bahasa ke arah kepunahan akan semakin cepat.
Di luar soal pemertahanan bahasa terdapat berbagai hal penting yang mendorong percepatan kepunahan suatu bahasa. Hal tersebut adalah bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak memiliki tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang, jika tidak segera didokumentasikan, akan sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Ditambah lagi, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang turut mempercepat kepunahan suatu bahasa. Summer Institute of linguistics (SIL) mengemukakan setidaknya terdapat 12 faktor: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3) digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) pengunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, (12) kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara berdampingan (Ibrahim 2008:10). Dua belas faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan punahnya suatu bahasa. Dengan melihat pada faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa sehingga kita dapat mempelajari dan melakukan usaha agar kepunahan bahasa dapat dicegah.

Gejala-gejala Kepunahan Bahasa

Salah satu keadaan yang memperlihatkan gejala-gejala kepunahan bahasa adalah penurunan secara drastis jumlah penutur aktif. Seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat kita lihat beberapa bahasa yang memiliki penutur tidak lebih dari lima orang. Kita ambil contoh bahasa Hukumina di Maluku yang hanya memiliki satu orang penutur. Apabila satu orang penutur tersebut meninggal, tidak hanya jasadnya saja yang terkubur, pengetahuan tentang bahasa terkait akan ikut terkubur dan bahasa Hukumina tersebut akan punah.
Keadaan lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah pengabaian penggunaan bahasa daerah oleh penutur usia muda. Dewasa ini, generasi muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing. Kebanyakan hanya menguasai secara pasif. Generasi muda tersebut mengerti dengan bahasa daerah mereka, tetapi tidak dapat berbicara dengan bahasa tersebut. Lebih dari itu, beberapa bahkan tidak peduli dengan bahasa daerah dan enggan menggunakannya. Hal tersebut disebabkan oleh generasi muda sekarang lebih menyukai memakai bahasa asing dan bahasa nasional, bahasa Indonesia, dibandingkan bahasa daerah. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang akan semakin banyak bahasa daerah yang pada akhirnya punah terkikis zaman.

Usaha Pencegahan Kepunahan Bahasa

            Bahasa adalah penciri utama suatu budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya lainnya. Tradisi yang diekspresikan dengan tindakan nyata antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain boleh saja sama, tetapi ketika kita mendengar “bahasa” yang terucap, akan segera tampak perbedaannya. “Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian kata sebuah pepatah.
            Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti etnosentris. Sebagai Warga Negara Indonesia, kita diharapkan untuk dapat memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bukan berarti kita melupakan bahasa daerah. Pemilihan pemakaian antara pemakaian bahasa Indonesia dengan  pemakaian bahasa daerah dapat disesuaikan dengan konteks yang ada. Dengan demikian, bahasa daerah dapat tetap sejalan dengan bahasa Indonesia serta dapat menjaga kelangsungan bahasa daerah dari kepunahan. Untuk mempertahankan keberlangsungan bahasa daerah tidaklah mudah, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Diperlukan kemauan dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk mempertahankan bahasa yang terancam punah.
Usaha yang dapat diupayakan untuk mencegah kepunahan bahasa antara lain dengan mengolah bahasa daerah yang terancam punah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal  sehingga dikenal generasi muda. Selain itu, bahasa daerah juga dapat dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia. Menghidupkan bahasa daerah tentu saja tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya,  tetapi dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.
Pemerintah sendiri telah menunjukan keberpihakannya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. Selain itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan membuat bidang khusus untuk perlindungan bahasa Indonesia dan daerah. Perlindungan itu akan lebih mengarah kepada bahasa daerah dan sastra lisan yang hampir punah. Ada dua langkah yang akan diterapkan Pusat Bahasa untuk perlindungan, yaitu dokumentasi dan revitalisasi. dokumentasi berbentuk pengumpulan kosa kata dan merekamnya, kemudian revitalisasi untuk menghidupkan kembali dengan cara mengadakan berbagai pagelaran festival seni.

Penutup

Fakta kepunahan bahasa cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat sedikit. Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung tidak memiliki tulisan dan berkurangnya pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah. Selain itu, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Untuk mencegahan kepunahan bahasa tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya, melainkan dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.

Referensi

Anonim. 2008. “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”. Kompas, 12
Agustus 2008.
Ibrahim, Gamil. “Bahasa daerah Lampung Terancam Punah”. http://gamil-opinion.blogspot.com (20 Februari 2010)

Ibrahim, Gufran Ali. "Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya". Makalah yang disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.
Karzi, Udo Z. ”Bahasa Daerah Terancam Punah”. http://ulun.lampunggech.com/2007/11/humaniora-726-bahasa-daerah-terancam.html (20 Februari 2010)
Masinambow. “Konvergensi Etnolinguistis di Halmahera Tengah”. Jakarta. 1976


-Oleh: Anisya Nofiani