“Pak Kautsar tidak dapat hadir hari ini, jadi saya yang menggantikan beliau mengawas UAS kalian. Sekarang silahkan ambil kertas ujian kalian” kata seorang wanita separuh baya berkerudung hijau dari depan kelas. “Kalian boleh mulai.”
Aku menatap pertanyaan pertama. Beberapa detik kemudian aku sadar bahwa aku tidak memahami satu kata pun. Aku melihat dosen pengganti di depan yang sibuk berkutat dengan laptopnya seraya sesekali memantau jalannya ujian. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa pak Kautsar tidak datang hari ini dan malah digantikan wanita separuh baya di depan itu.
Di sekelilingku, mahasiswa lain tanpa henti menggoreskan jawaban di kertas ujiannya, sedangkan kertas ujianku masih kosong. Aku mencoba menulis, tetapi yang terbayang malah wajah pak Kautsar yang menatapku lembut. Aku memejamkan mata, berusaha berkonsentrasi dengan soal ujian. Namun usahaku gagal, kini yang terbayang dosenku itu menatapku lembut sambil tersenyum padaku. Senyuman yang selalu mampu membuatku meleleh. Senyum itu pula yang selalu mengingatkanku saat aku pertama kali bertemu Kautsar di awal semester tiga ini.
***
Aku berlari menuju ruang kelas. Jam tangan yang melingkar di tangan kiriku menunjukan pukul delapan lewat sepuluh menit, aku sudah terlambat, pikirku.. Jika motorku tidak mogok, aku pasti sudah ada di kelas sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku tidak suka terlambat apalagi di hari pertama masuk kuliah sejak liburan panjang.
Aku mengambil nafas panjang. Ketika aku mengetuk pintu ruang 6215 itu, seseorang berkata, “Masuk,” dengan suara yang ramah. Aku masuk hati-hati, untunglah kuliah belum dimulai.
Aku memilih duduk di kursi paling depan sambil memandang berkeliling. Sejenak, aku memandang dosen yang memperkenalkan diri bernama Kautsar. Mata kami saling bertemu lalu dia tersenyum. Entah kenapa saat menatapnya hatiku berdebar. Mungkin ini yang dinamakan cinta. Sejak saat itu, aku selalu duduk di kursi paling depan saat dia mengajar agar aku dapat menatapnya dari dekat.
Ya, Kautsar adalah dosenku. Kautsar berumur sekitar 45 tahun. Dia berperawakan cukup tinggi untuk ukuran laki-laki Indonesia. Dia memakai kacamata yang menegaskan bahwa dia lelaki terpelajar. Hal yang paling memikat darinya adalah saat dia bertanya “Ada yang ingin ditanyakan?” karena saat dia bertanya, akan terselip senyuman yang menyiratkan kegairahan untuk berbagi ilmu yang belum dimengerti mahasiswanya.
Setiap kali dia mengajar, Aku selalu bertanya macam-macam untuk menarik perhatiannya. Dia pun selalu menjawab pertanyaanku dengan sabar. Namun, sepertinya dia memperlakukanku sama seperti mahasiswa lain. Padahal aku berharap lebih.
Kadang aku berpikir untuk menyatakan perasaanku padanya. Namun aku tidak mau hal ini berimbas pada nilai kuliahku. di sisi lain, aku takut bila aku menyatakan perasaanku, dia akan menjauh dariku. Akhirnya aku memilih menyimpan perasaanku rapat-rapat.
Aku sadar bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku hanya bisa sekadar mendamba dirinya. Dia terlampau jauh untuk aku gapai. Biar bagaimana pun, usia kami terpaut cukup jauh. Ditambah lagi, aku laki-laki. Menurut keyakinanku laki-laki tidak boleh menyukai laki-laki. Namun mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur cinta.
***
“Lima belas menit lagi”
Suara dosen pengganti itu menyadarkanku dari lamunan. Aku panik melihat kertas ujianku yang masih kosong. Aku mencoba menjawab pertanyaan demi pertanyaan, tapi sia-sia saja. Mungkin aku harus mengulang mata kuliah ini semester depan, tapi setidaknya aku bisa bertemu pak Kautsar lagi. Akhirnya dengan langkah gontai aku kumpulkan saja kertas kosong itu.
“Tumben ya pak Kautsar ngga masuk. Padahal biasanya getol banget” kataku saat keluar kelas, mencoba mencari info dari Fira, teman sekelasku.
“Lagi sibuk kali,” jawab Fira santai “eh iya yang ngawas kita tadi, itu istrinya pak Kautsar loh.”
Hatiku hancur.
-cerpen yang Vini tulis untuk penulisan populer-
-cerpen yang Vini tulis untuk penulisan populer-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar