Jumat, 23 Desember 2011

cake's day :9

23 Desember 2011

selamat ulang tahun Atha.
yup, hari ini ulang tahun salah satu sahabat aku, Nathalie Enda Zileta Depari. Dia sekarang udah 21 tahun loh sodara-sodara. doain Atha yaaa :))

Oya, aku mau ceritain kronologis hari kue yang jatuh pada hari ini.
diawali dengan kehadiran bu Sis, dosen Semantik dan dosen teroke di bidang linguistik, yang bawa kue..  Kue bu sis itu jenis kue harvest yang enak banget. Chocolate Devil! full of chocolate, pas digigit cokelatnya langsung melting di mulut dan di kue itu ada butiran-butiran chip kecil. bener-bener yummy :9
Makin sayang sama bu sis deh <3
nah ini penampakan kuenya. . .



Abis selesai semantik, aku, Anya, dan Mala langsung ngacir ke margo untuk ketemu pacar Atha, Daniel, sekalian beli kue buat Atha yang ulang tahun hari ini. Kami dapet kue ulang tahun di toko kue di jalan margonda sebelah kantor Sriwijaya Air Depok. Nama toko kuenya Daniel, pas banget kan nama toko kuenya dengan nama pacarnya. Tipe kue atha adalah kue Black forest dengan 4 potong cherry di atasnya. Meskipun ga semahal kue Harvest, tapi rasanya ga kalah oke deh sama kue harvest. Rekomendasi banget buat yang lagi nyari kue gede dan enak dengan budget terbatas deh.

Terus pas balik lagi ke kampus untuk selametan menang Petang Kreatif, ternyata ada kueh lagi sodara-sodara. Kuenya gueedeeee banget dan lucunya di tengahnya ada bentuk makara. Aku ngga nyobain kuenya sih karena udah muak banget sama kue hari ini. tapi kalo lin kali ada yang mau kasih aku kue, aku ndak nolak ko :))


Senin, 19 Desember 2011

Beti

Entah kenapa hari ini aku galau dan ga tau harus cerita ke siapa. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis di blog aja.

Kegalauan ini berawal dari keputusan papa. Keputusan besar yang cukup bikin aku bengong 10 detik untuk benar-benar mencerna kata-kata papa. Papa mau ngejual BETI!

Beti adalah motor Honda Beat kesayanganku. Well, emang sempet terbersit pikiran untuk pake motor scoopy pink yang unyu  itu, tapi bukan berarti aku mau merelakan Beti. Beti udah nemenin aku selama 2,5 tahun. Berbagai suka dan duka kami lewati bersama.

Beti selalu setia menemaniku mengantar Selvi dan Firman ke sekolah
Beti selalu setia menemaniku menjemput Mala
Beti selalu setia mengantarku ke kampus
Beti juga selalu setia menemani waktu-waktu indahku bersama Eja

Tapi, kesetiaan Beti malah aku balas dengan ketidakberdayaan.

Beti sudah ditawar dengan harga 7,3 juta dan besok dia akan pergi bersama dengan pemiliknya yang baru. semoga pemilikmu yang baru lebih baik dariku dan lebih telaten untuk merawatmu. 

Selamat jalan Beti.
Semoga kenangan indah kita selalu tersimpan di mesinmu.

(ditulis di malam terakhir bersama Beti)

Kamis, 15 Desember 2011

Misteri di Balik Tradisi Peci (sinopsis The Da Peci Code)



Peci seringkali diidentikan dengan agama Islam. Namun pada kenyataannya, peci bukan merupakan ajaran agama. Itu hanyalah tradisi yang kemudian dianggap sebagai simbol agama.

Misteri di balik tradisi berpeci ini diangkat Ben Sohib dalam novelnya yang berjudul The Da Peci Code. Jika kita melihat judulnya, sekilas kita akan teringat dengan buku karangan Dan Brown yang berjudul The Da Vinci Code. Namun jangan salah, The Da Peci Code tidak ada hubungan dengan novel tersebut.

Novel The Da Peci Code merupakan salah satu karya Ben Sohib. Beberapa tulisannya berupa puisi, cerpen dan feature, pernah dimuat Sinar Harapan, Pelita, dan Hai. Ben Sohib adalah penerjemah lepas untuk sejumlah penerbit. Beliau dilahirkan pada 22 Maret 1967 di Jember. Kini Ia bersama istri dan seorang anak perempuannya menetap di Jakarta.

Novel terbitan Rahat books ini berkisah tentang konflik antara Rosid, seorang lelaki keturunan arab berambut kribo, dengan ayahnya, Mansur al-Gibran. Mansur berkeras menyuruh Rosid mencukur rambut kribonya agar bisa memakai peci putih, tapi Rosid menolak. Ia beranggapan bahwa peci bukan merupakan ajaran agama, melainkan tradisi leluhur.

Berbagai cara ditempuh Mansyur untuk memaksa Rosid memakai peci putih, dari membawanya ke pertemuan al-Gibran hingga ke orang pintar. Mansyur mengira anak laki-lakinya itu terkena aliran sesat sehingga tidak mau memakai peci putih. Konflik semakin bertambah karena Rosid menjalin hubungan dengan Delia yang berbeda agama.

Ben Sohib menceritakan kisah ini dengan gaya lugas. Ia mengangkat topik sederhana tentang peci dengan gaya penceritaan yang menarik. Deskripsi latar yang sangat baik membuat pembaca terenyuh dengan cerita. Cerita ini sangat menarik untuk dibaca karena dikemas dengan humor khas anak muda Jakarta yang kritis juga romantis.

Mata Air Sangkuriang



Tersebutlah kisah seorang anak manusia, Sangkuriang namanya. Dia tinggal dengan ibu yang bernama Dayang Sumbi dan seekor anjing. Sangkuriang tidak pernah mengenal ayahnya. Ia sangat mengasihi Ibunya sehingga setiap permintaan ibunya tidak pernah ditolaknya.
“Anakku Sangkuriang, kini kau telah beranjak dewasa. Sudah waktumu untuk pergi berburu. Carilah binatang gemuk untuk kita makan nanti malam. Ingat, janganlah kau pulang dengan tangan hampa. Dan bawalah serta anjing ini untuk menemani.” Pinta Dayang Sumbi pada suatu hari
            Sangkuriang menganguk patuh.
            Ini adalah kali pertama dia menjelajah hutan belantara. Apalagi untuk mencari hewan buruan. Ditambah lagi dia tidak mempunyai keahlian sedikit pun untuk memburu. Ia teringat akan ibunya di rumah sendirian menunggunya membawa hasil buruan. Ia pun bertekad untuk segera kembali dengan membawa hasil buruan untuk dimakan bersama ibunya nanti malam.
            Sejurus kemudian ia melihat seekor kijang dari balik semak. Ia mengawasi kijang itu sambil memegang erat belati yang dipakainya sebagai senjata. Ketika dilihatnya kijang itu lengah, Sangkuriang langsung berlari ke arah kijang itu.  Mengetahui bahaya mengincar, kijang itu berlari secepat udara. Namun, Sangkuriang dapat berlari secepat cahaya.
Anjingnya mengongong menyemangati. Kijang itu kini berada sangat dekat. Ia sudah membayangkan betapa gurihnya daging kijang ini. Dan betapa manisnya senyum ibunya saat tahu anaknya mampu berburu. Tanpa disadari sebuah batu mengantuk kaki kirinya. Sangkuriang pun jatuh terpelanting dan Kijang itu hilang dari penglihatan.
Telah tiga ekor kijang luput dari buruannya. Sudah hampir seharian Sangkuriang mencari binatang untuk dipersembahkan pada ibunya tapi tiada hasil. Peluh bercucuran di dahinya, Sangkuriang lelah..
Hari sudah beranjak malam. Sangkuriang beristirahat di bawah pohon besar. Anjingnya duduk terkulai di sampingnya. Sangkuriang teringat dengan ancaman ibunya untuk tidak pulang dengan tangan kosong. Kemudian rencana buruk menghinggapi kepalanya saat melihat anjingnya. Dia pun mengambil belati dan menyembelih anjingnya.
Sangkuriang pulang saat Dayang Sumbi sedang menjahit. Dia pun langsung beranjak menyambut Sangkuriang dengan suka cita. Sangkuriang menunjukan  hasil buruannya dengan bangga.
“Oh anakku, aku senang melihatmu pulang. Ditambah lagi dengan membawa hasil buruanmu. Aku tahu kau mampu. ngomong-ngomong anakku, di mana Anjing itu. Bukankah tadi dia pergi bersamamu” Kata Dayang Sumbi sambil memamasak hasil buruan Sangkuriang
Sangkuriang terdiam.
            “Mengapa kau terdiam anakku. Oh, Jangan-jangan yang aku masak ini adalah anjing kita?”
            Sangkuriang menatap Ibunya dengan wajah menyesal
            “Teganya kau, kamu harus tahu bahwa anjing itu adalah ayahmu!”
Dayang Sumbi sangat murka. Perasaan kecewa, marah, sedih, berkecamuk di hatinya. Ia tidak menyangka anaknya tega membunuh ayahnya sendiri. Diapun mengutuk Sangkuriang menjadi batu.
Batu itu masih ada sampai sekarang. Konon batu itu mengeluarkan air dari celahnya dan tidak pernah berhenti mengalir. Air yang keluar adalah penyesalan Sangkuriang atas segala perbuatannya. Air yang keluar itu kini dijadikan sumber mata air oleh masyarakat sekitar dan dinamakan “ Mata Air Sangkuriang”.


-terinspirasi dari cerita Tangkuban Perahu dan Malin Kundang-

Cerita Cinta


 “Pak Kautsar tidak dapat hadir hari ini, jadi saya yang menggantikan beliau mengawas UAS kalian. Sekarang silahkan ambil kertas ujian kalian” kata seorang wanita separuh baya berkerudung hijau dari depan kelas. “Kalian boleh mulai.”
            Aku menatap pertanyaan pertama. Beberapa detik kemudian aku sadar bahwa aku tidak memahami satu kata pun. Aku melihat dosen pengganti di depan yang sibuk berkutat dengan laptopnya seraya sesekali memantau jalannya ujian. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa pak Kautsar tidak datang hari ini dan malah digantikan wanita separuh baya di depan itu.
            Di sekelilingku, mahasiswa lain tanpa henti menggoreskan jawaban di kertas ujiannya, sedangkan kertas ujianku masih kosong. Aku mencoba menulis, tetapi yang terbayang malah wajah pak Kautsar yang menatapku lembut. Aku memejamkan mata, berusaha berkonsentrasi dengan soal ujian. Namun usahaku gagal, kini yang terbayang dosenku itu menatapku lembut sambil tersenyum padaku. Senyuman yang selalu mampu membuatku meleleh. Senyum itu pula yang selalu mengingatkanku saat aku pertama kali bertemu Kautsar di awal semester tiga ini.

***

Aku berlari menuju ruang kelas. Jam tangan yang melingkar di tangan kiriku menunjukan pukul delapan lewat sepuluh menit, aku sudah terlambat, pikirku.. Jika motorku tidak mogok, aku pasti sudah ada di kelas sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku tidak suka terlambat apalagi di hari pertama masuk kuliah sejak liburan panjang.
Aku mengambil nafas panjang. Ketika aku mengetuk pintu ruang 6215 itu, seseorang berkata, “Masuk,” dengan suara yang ramah. Aku masuk hati-hati, untunglah kuliah belum dimulai.
Aku memilih duduk di kursi paling depan sambil memandang berkeliling. Sejenak, aku memandang dosen yang memperkenalkan diri bernama Kautsar. Mata kami saling bertemu lalu dia tersenyum. Entah kenapa saat menatapnya hatiku berdebar. Mungkin ini yang dinamakan cinta. Sejak saat itu, aku selalu duduk di kursi paling depan saat dia mengajar agar aku dapat menatapnya dari dekat.
Ya, Kautsar adalah dosenku. Kautsar berumur sekitar 45 tahun. Dia berperawakan cukup tinggi untuk ukuran laki-laki Indonesia. Dia memakai kacamata yang menegaskan bahwa dia lelaki terpelajar. Hal yang paling memikat darinya adalah saat dia bertanya “Ada yang ingin ditanyakan?” karena saat dia bertanya, akan terselip senyuman yang menyiratkan kegairahan untuk berbagi ilmu yang belum dimengerti mahasiswanya.
Setiap kali dia mengajar, Aku selalu bertanya macam-macam untuk menarik perhatiannya. Dia pun selalu menjawab pertanyaanku dengan sabar. Namun, sepertinya dia memperlakukanku sama seperti mahasiswa lain. Padahal aku berharap lebih.
Kadang aku berpikir untuk menyatakan perasaanku padanya. Namun aku tidak mau hal ini berimbas pada nilai kuliahku. di sisi lain, aku takut bila aku menyatakan perasaanku, dia akan menjauh dariku. Akhirnya aku memilih menyimpan perasaanku rapat-rapat.  
Aku sadar bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku hanya bisa sekadar mendamba dirinya. Dia terlampau jauh untuk aku gapai. Biar bagaimana pun, usia kami terpaut cukup jauh. Ditambah lagi, aku laki-laki. Menurut keyakinanku laki-laki tidak boleh menyukai laki-laki. Namun mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur cinta.

***


            “Lima belas menit lagi”
            Suara dosen pengganti itu menyadarkanku dari lamunan. Aku panik melihat  kertas ujianku yang masih kosong. Aku mencoba menjawab pertanyaan demi pertanyaan, tapi sia-sia saja. Mungkin aku harus mengulang mata kuliah ini semester depan, tapi setidaknya aku bisa bertemu pak Kautsar lagi. Akhirnya dengan langkah gontai aku kumpulkan saja kertas kosong itu.
“Tumben ya pak Kautsar ngga masuk. Padahal biasanya getol banget” kataku saat keluar kelas, mencoba mencari info dari Fira, teman sekelasku.
“Lagi sibuk kali,” jawab Fira santai “eh iya yang ngawas kita tadi, itu istrinya pak Kautsar loh.” 
Hatiku hancur.


-cerpen yang Vini tulis untuk penulisan populer-